Dilema Kita Kini


Ai Nurhidayat
 Belum lama ini kita mendapatkan fenomena aneh pasca munculnya jenis smartphon. Banyak orang yang berdiam dekat colokan listrik. Tentu saja ini bukan sesuatu yang “wah”. Kita bisa menebak, para pengguna smartphon sedang mengakses internet dengan paket datanya. Dua tahun terakhir nampaknya ini sudah menjadi “budaya” baru. Nongkrong dekat colokan.

Prilaku yang hampir masif menimpa anak-anak, remaja, orang dewasa bahkan yang sebelumnya tak dapat diduga menular ke orang tua hingga kakek-kakek atau nenek-nenek. Tanpa kita sadari, ini adalah pemandangan yang lucu dan tentu saja menyiratkan banyak tanda.

Lucu, sebab kita kerap melihat pemandangan ini di tempat umu yang terkadang muskil. Di terminal, di warung-warung, bahkan ada yang ngecas di mushola. Sekedar ngecas, bulan lagi shalat. Yang gak kalah lucu adalah pada saat mereka mengabaikan manusia lain yang dekat dengannya. 

Munculnya fenomena itu lantaran canggihnya teknologi yang menimpa masyarakat kita. Mau tidak mau kita merasakan dampak langsung, berpindahnya ruang interaksi manusia dari yang muka tatap muka menjadi data ketemu data.

Maka dalam urusan pendidikan pun, kita menemukan ruang interaksi antara pelajar dengan guru menjadi data dengan data. Biaya pendidikannya seharga gadget. Iuran rutinnya harga paket data. Dan ruang kelasnya tak lain adalah colokan atau power bank.
Setiap saat gejala ini bukan menimbulkan rasa bangga lantaran kita bisa merasa lebih canggih. Kita juga, terutama para guru, khawatir. Bagaimana mungkin isi kepala pelajar kita dijejali pesan yang entah apa dan entah siapa yang memproduksinya. Kita tak pernah tahu apakah yang diakses pelajar adalah pesan nyata atau ilusi.

Bagi kita para guru, fenomena ini membingungkan. Kita sadar, banyak guru di sekolah-sekolah sudah tak lagi asyik mendampingi siswa. Malah terkadang guru kian tak update bahasa pergaulan sehari-hari. Kita juga paham banyak guru yang memaksakan kehendak siswa menuruti segala ucapannya di dalam kelas, dan itu tidaklah baik. Akan tetapi, kita akan lebih dikejutkan dengan pesan-pesan asing yang sejak bangun pagi hingga pagi lagi menerpa siswa kita.

Guru, sebagaimana siswanya, adalah seorang pembelajar. Menyikapi persoalan ini hanya bisa berharap pada satu hukum: kesadaran. Sadar pada dunia nyata yang masih ada. Yang oleh karenanya kita masih disebut manusia.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »