Membaca di Tengah Masyarakat Kita


Membaca adalah kegiatan percuma, tanpa hasil yang jelas dan membuang-buang waktu. Membaca adalah kegiatan paling menjemukan, meminggirkan pergaulan dan tentu saja membuat mata rabun. Membaca adalah bagian yang paling tidak asyik sepanjang manusia hidup dan oleh kerenanya jarang orang yang mau melakukannya. Di tengah masyarakat, membaca adalah kegiatan aneh yang tak mengakar. Para pembacanya tak disegani. Bahan bacanya dihindari. Tempat bacanya tak dipedulikan. Yang sudah ada pun, begitu sekolah selesai, perpustakaan ditutup. Tuhan sepertinya membuat masyarakat di Pangandaran, Parigi khususnya, muak dan mengutuk para pembaca.

Para pemuka agama kebanyakan (maaf) turut menyempurnakan anggapan ini dengan seperti lupa mendidik masyarakat agar mau membaca. Padahal terang saja, membaca adalah perintah Tuhan yang hingga saat ini ayat pertama diturunkan “Iqra” belum pernah diadendum, dinasakh atau digantioleh ayat lain. Sering lupanya mengajak masyarakat membaca adalah bukti belum lah membaca ini menjadi tradisi.

Bagi orang tua pun demikian. Ada begitu banyak bentuk perhatian kepada anaknya, mulai dari membelikannya mainan, susu kaleng, motor serta bensinnya juga mempercantik rumah tinggalnya. Tetapi lupa satu hal, buku dongen buat anaknya. Padahal apalah artinya harga buku dibanding harga barang-barang yang lain. Terang saja ini menjadi bukti bahwa membaca tidaklah dianggap perioritas oleh masyarakat yang katanya ingin maju ini.

Memang tidaklah dapat dipungkiri, betapa sulitnya memperoleh buku di Parigi ini. Butuh paling tidak 120 km perjalanan ke toko buku terdekat. Perpustakaan yang ada di sekolah maupun di instansi negara lebih sering ditutup dan buku yang ditawarkan adalah yang lama dan tak lagi bermutu.


Yang lebih mengerikan adalah, anak-anak di awal masa sekolahnya dididik agar bisa membaca, menulis dan berhitung, juga bicara. Akan tetapi setelah mereka bisa, tidak dimotivasi untuk menggunakan kemampuannya. Jika motivasi terbesar adalah teladan, maka guru atau orang tualah yang harus memberi contoh. Tetapi ini, sebaliknya. Sosok teladan yang diharapkan  malah kandas ditelan kemalasan kolektif. Lalu diikuti siswa dan anak-anaknya. Lebih ampuh daripada sekedar bilang “jangan membaca”.


Itulah gambara umum tentang tradisi baca di kita. Masyarakat bisa membaca tetapi ogah membaca. Cenderung lebih suka bergosip atau menonton ketimbang membaca. Berkebalikan dengan masyarakat lain (Jepang misalnya) yang mayoritas penduduknya hobi membaca. Membaca telah menjadi kebutuhan dasar untuk memperoleh informasi, pengetahuan dan tentu saja hikmah.


Saya geram dan muak melihat prilaku illiterate dalam masyarakat yang sesungguhnya melek baca. Sebuah ironi yang tidak ada hentinya. Karena itu, berbagai upaya dilakukan agar masyarakat, paling tidak untuk para pelajar, mau membaca sebagai bekal dewasa nanti.

Berharap pada orang yang sudah tua lebih banyak makan hati atau capek, ketimbang keringat bercucuran untuk mendidik generasi baru. Sebab, untuk generasi baru, masih ada banyak kemungkinan yang bisa diharapkan. Tetapi tentu saja kita berharap pada orang tua dan guru agar memberi teladan pada generasi kita agar mau membaca.
Akhirnya, dengan penuh kepasrahan, saya bersama kawan-kawan di komunitas mendirikan Taman Bacaan Masyarakat Sabalad. Membuat berbagai upaya agar TBM ini ada bukunya, rapih administrasinya dan menyenangkan untuk dikunjungi. Kami juga menyiapkan jawara-jawara baca untuk menyerang kemalasan ke sekolah-sekolah.sebuah program tiada ujung untuk mengajak para pelajar agar bukan hanya mau baca tetapi mau mengajak orang-orang untuk mencintai pengetahuan.

Semoga kita semua mau membaca untuk kemajuan kemanusiaan kita dan peradaban.




Share this

Related Posts

Previous
Next Post »