Organisasi Sosial sebagai Unsur Budaya

Manusia sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berupa kebutuhan utama, kebutuhan sosial, dan kebutuhan integratif. (Suparlan. 1986) Benarkah demikian? Bagaimana dengan kita sebagai mahasiswa? Mahasiswa saja sudah merupakan bagian organisasi sosial yang sudah terkategorisasi dalam struktur sosial. Terlebih mahasiswa Paramadina, bahkan status sosialnya saja memiliki nilai yang berarti di tengah mahasiswa lain.

Tetapi dapatkah golongan berlabel mahasiswa itu disebut organisasi sosial? Kenapa disebut organisasi sosial? Kenapa harus ada organisasi sosial semacam ini? Lalu bagaimana dengan lembaga kemahasiswaan lain? Bukankah lebih mudah mengkategorikan UKM sebagai organisasi sosial? Pertanyaan itu wajib diungkap dalam pergolakan wacana, lebih lebih saat diskusi.

Definisi organisasi sosial

Terdapat dua wilayah keilmuan yang secara khusus membahas organisasi sosial sebagai objek kajian. Dua wilayah itu berbeda satu sama lain, meskipun perbedaannya tipis. Dua wilayah yang dimaksud adalah antropologi sosial dan sosiologi.

Antropologi sosial melihat fenomena kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh. Hal ini terlihat dari metode penyelidikan yang lebih berupaya menginventarisir hal yang langsung menyangkut manusia. Dalam ranah sosiologi, penyelidikan lebih memusatkan pada unsur-unsur atau gejala-gejala khusus dalam masyarakat manusia: dengan menganalisa kelompok-kelompok sosial yang khusus (social groupings), hubungan antar kelompok atau individu (social relations), atau proses yang berada di sekitar kehidupan kemasyarakatan (social processes).

Metode operasional kedua ilmu itu menghasilkan penelitian yang intensif seperti yang sering dilakukan antropolog sosial. Sementara sosiolog mengkaji masyarakat secara umum melalui metode penelitian yang meluas.

Akibat perbedaan itu, organisasi sosial dalam antropologi lebih bersifat integral. Bahwa manusia memiliki kekhususan secara individu, terikat pengalaman yang berbeda, memiliki pemahaman yang berbeda, pemahaman kebahasaan, dan seterusnya. Segala unsur lain di luar organisasi sosial mempengaruhi unsur organisasi sosial itu sendiri.

Koentjaraningrat melihat organisasi sosial ini sebagai unsur yang universal. Karena itu, dimana ada masyarakat manusia, berarti disitulah terdapat unsur yang mendorong manusia berada dalam satu pengaturan, pengorganisiran atau pengelompokan yang berfungsi menunjang kebutuhan yang berkaitan langsung dengan kehidupan, dan pada akhirnya melestarikan nilai yang telah disepakati oleh semua anggota.

Kehidupan masyarakat diorganisasi atau diatur oleh adat istiadat dan aturan berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Karena masyarakat terbagi ke dalam lapisan-lapisan, maka orang yang berada di luar afiliasinya akan berbeda. Perbedaan itu menimbulkan posisi yang berbeda, ada yang tinggi dan ada yang dianggap lebih rendah.

Organisasi sosial oleh Koentjaraningrat dikategorisasikan sebagai salah satu unsur kebudayaan universal. Unsur-unsur tadi ada dan bisa didapatkan di dalam kebudayaan dan semua bangsa dimanapun di dunia.

Koentjaraningrat menguraikan posisi organisasi sosial ini menjadi kian penting dalam sebuah masyarakat terutama dalam meneliti masyarakat desa, atau masyarakat yang belum modern. Pembedaan ini sebetulnya bisa jadi merupakan cara untuk mempermudah penguraian tentang organisasi sosial.

Hubungan kekerabatan bagi Koentjaraningrat merupakan sebuah fenomena budaya yang menunjukan organisasi sosial yang masih mudah dijumpai di semua masyarakat. Hubungan kekerabatan ini menciptakan pola-pola khusus baik itu dalam proses maupun dengan nilai yang ada dalam hubungan itu. Pada sebuah masyarakat, hubungan kekerabatan, misalnya yang berdasarkan asas keturunan ayah (patrilineal) merupakan unsur yang akan mengikat anggotanya dalam lingkaran aturan yang berlaku.

Hubungan seperti di atas, bisa jadi sudah bergeser. Nilai dan segala proses yang terjadi dalam hubungan kekerabatan mengalami perubahan seiring perkembangan masyarakat. bagi Koentjaraningrat, berubahnya masyarakat ke arah industrialisasi bahkan ke era informasi akan membuat pola organisasi sosial semula, seketika berubah dan mengalami bentuk baru. Dalam masyarakat yang lebih modern, organisasi sosial ini bahkan secara definitif berubah. Muncul kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, lembaga negara, bahkan hubungan lintas negara yang pada kajian budaya masuk dalam unsur dasar yang tidak bisa ditinggalkan.

Kelompok sebagai organisasi sosial


Kelompok atau komunitas merupakan sebuah bentuk organisasi sosial terutama pada lingkungan masyarakat modern. Kelompok terbentuk bisa berdasarkan banyak hal. Ada yang menggunakan lingkup primordial, kepentingan politik, persamaan hobi dan lain hal. Secara mekanistis, kelompok bisa terbentuk melalui kedekatan (proximity) dan daya tarik (attraction) tertentu. selain itu adanya kesamaan tujuan dan alasan ekonomi dapat pula menjadi sebab mengapa orang mau berkelompok (Gibson et al. 1982).

Fitrah manusia sebagai mahluk sosial yang memang tidak bisa lepas dari pengaturan agar kondisi sosial tetap terjalin dengan baik mengharuskan adanya organisasi sosial semacam ini. Keinsyafan individu akan kebutuhan inilah yang mendorong terciptanya organisasi sosial. Selain itu, fitrah manusia yang lain seperti halnya kebebasan dalam menentukan kehendak mendorong kemungkinan munculnya perbedaan diantara anggota kelompok. Namun dibalik perbedaan tersebut, manusia memiliki sifat konformitas, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap apa yang diinginkan orang lain. Seseorang bersedia melakukan sesuatu bentuk prilaku yang diinginkan orang lain, meskipun dia sendiri tidak menginginkan prilaku tersebut. Sifat konformitas ini didasari rasa takut celaan dari lingkungannya (Sears at al. 1985). Semakin besar rasa percaya (trust) individu terhadap individu-individu lain dalam kelompok, semakin besar kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok.

Cukup banyak teori yang membantu menjelaskan fenomena penting dalam kehidupan berkebudayaan ini. Satu contoh yang membantu dalam menganalisa proses munculnya kelompok sebagai bagian dari organisasi sosial ini adalah teori tahapan pertumbuhan kelompok menurut Tuckman et al :
1. Forming (fade pembentukan rasa kekelompokan)
2. Storming (fase pancaroba)
3. Norming (fase pembentukan norma)
4. Performing (fase berprestasi)

Uraian singkat ini dapat membantu kita melihat keberadaan kelompok atau komunitas yang sering kita jumpai, bahkan kita berada di dalamnya, yang mendorong keinsyafan kita bahwa fenomena kelompok sebagai organisasi sosial tidak bisa kita hindari. Sebaliknya, kelompok tertentu yang dipertahankan merupakan kelompok yang masih dipercaya sebagai penentu kebutuhan anggotanya. Kelompok tertentu, termasuk yang sudah memiliki sejarah panjang dan legitimit, manakala sudah tidak sesuai dengan kebutuhan, akan bubar dengan sendirinya.

*Disampaikan dalam diskusi tentang Organisasi Sosial menurut perspektif Koentjaraningrat.
**Sumber bacaan utama dari Pengantar Ilmu Antropologi karya Koentjaraningrat dan beberapa buku penunjang

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »