Social Cultivator | Ai Nurhidayat | Kelas Multikultural

Ini jejak digital saat saya diberi kesempatan oleh TEDxJakarta pada tahun 2018. Acara yang digelar di Balai Sarbini Jakarta ini diberi tema Jagad Manusia. Saya hanya bercerita tentang pengalaman yang saya alami dalam membuat Kelas Multikultural dan Kampung Nusantara.

Berikut videonya :

Tentu saja banyak hal yang tidak terceritakan dan banyak juga yang perlu dilengkapi. Tetapi sedikit banyak apa yang disampaikan adalah apa yang sedang diperjuangkan. Semoga Indonesia menjadi lebih keren.

Menimba Ilmu dan Merawat Toleransi


Dikutip dari Tempo.co

Saya jadi punya kesadaran membuang sampah pada tempatnya, mau bersih-bersih tanpa disuruh yang tadinya nunggu disuruh dan nggak mau, tahu perspektif orang gimana, bertemu banyak orang hebat yang membuat  saya nggak akan jadi apa-apa kalau ngikutin diri sendiri dan nggak mau usaha, pentingnya menghargai orang lain,lebih menghargai waktu, bisa kerja sama juga, banyak pengetahuan yang kalo saya nggak di sini nggak mungkin didapat, atau kecil kemungkinannya.” Nur Afandi, siswa kelas XI SMK Bakti Karya Parigi. 
Martin Rambe berdiskusi malam bersama siswa Kelas Multikultural.
Sebagian dari mereka tengah berlibur tahun baru 2018. 
Tinggal bersama para siswa SMK Bakti Karya adalah pengalaman paling berkesan selama hampir dua minggu liburan di Pangandaran kemarin. Tepatnya di Desa Cinta Karya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran. Dua hari tiga malam berinteraksi langsung dengan mereka, itu ibarat jatuh cinta. Di satu sisi aku melihatnya sempurna, di sisi lain aku sadar ada yang harus dijaga dan dikembangkan agar tetap memancarkan cinta. Kelihatannya berlebihan, tapi ya begitulah kurasa.
SMK ini mulai dikelola dengan prinsip multikultural sejak 2016. Jadi, hingga saat ini ada perwakilan dari 11 provinsi di Indonesia yang belajar di sana. Mereka sangat beragam. Bahasa, suku, latar belakang sosial, dan agama. Tentu kesempatan selalu terbuka untuk menghadirkan siswa yang lebih beragam lagi.
Banyak hal menarik, salah satunya siswa asal Papua, Apnel Yekwam, yang sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia ketika pertama kali datang. Dia bisa lulus UN itu kayak gimana ya? 
Menurut cerita Ai Nurhidayat, pengelola sekolah ini, awalnya ia ragu menerima Apnel. Namun, setelah banyak ngobrol dengan pihak sekolah asal Apnel, ia terima juga. Terutama karena prinsip sekolah ini tak menilai kompetensi siswa dari hanya sekadar angka. Maka tak ada alasan bagi Ai tak menerima Apnel. Bahkan kata Ai pun mereka bisa berinteraksi dengan baik, menikmati proses, tertawa bersama itu sudah lebih dari cukup. 
Lain lagi cerita Ismail Rumaru, siswa kelas XI asal Maluku. Awalnya ia tak mau bergaul dengan orang Aceh, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan. Ia memendam prasangka buruk terhadap mereka. Awalnya ia berpikir orang Aceh itu suka membicarakan orang lain dengan bahasanya sendiri atau orang Kalimantan itu keras-keras karena parasnya garang. Tapi setelah suatu hari mereka saling bercerita, ia sadar kalau berbeda itu asyik. Ia akhirnya mengaku salah atas prasangkanya. Ismail bahkan menjadi pengagum logat Aceh.
Ada yang lebih menarik lagi. Soal ekspresi mereka. Aku agak sulit menggambarkannya. Tapi aku merasa yakin, selama dua hari penuh berinteraksi dengan mereka, ekpresi yang terpancar adalah kebahagiaan. Tanpa beban. Tanpa merasa ada yang kurang. Plong. Lepas. Bahagia menjalani semua proses. Beda dengan anak-anak sekolahan formal pada umumnya.
Ai memang mengatakan metode belajar dibuat menyenangkan. Banyak bermain di lapangan. Misalnya ketika belajar tentang demokrasi mata pelajaran Kewarganegaraan, para siswa diajak langsung ke kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah, belajar Bahasa Inggris dengan permainan, dan lain-lain.  Tapi kurasa tak hanya soal metode belajar, tapi pesan apa yang mereka dapatkan dan pahami dari setiap proses yang mereka alami. Itu berperan penting pada bagaimana mereka mengekspresikan diri. 
Kata Ai ada lima konsep utama yang selalu mereka terapkan pada setiap proses di sekolah multikulural ini. Perdamaian, toleransi, terkoneksi, kelas aktif, dan eksplorasi budaya. Aku pikir ekspresi yang dipancarkan para siswa tak lepas dari lima konsep di atas.   
Internalisasi konsep-konsep itu terasa nyata bahkan saat pertama kali aku datang. Menemukan para siswa di saat libur menghabiskan waktu di lab komputer dan perpustakaan. Ada yang lagi membaca. Ada yang sedang mengedit video. Ternyata mereka sedang kegandrungan bikin video blog. Klik di sini untuk melihat salah satu karya mereka.  
Hatiku semakin meleleh ketika berbincang-bincang dengan mereka. “Untuk mengerti satu hal, ternyata banyak caranya. Guru-guru di sini membuatnya menyenangkan,” kata Yohan, siswa dari Flores. Mereka juga mengaku bangga belajar di sini. “Ketemu seluruh orang Indonesia,” kata Aditya Sujana, siswa asal Kalimantan Timur. Mereka tak hanya tahu, tapi juga hidup bersama. Dialog multikulural yang memang salah satu prinsip sekolah ini sungguh terjadi. Toleransi ditanamkan pelan tapi pasti. 
Aku membayangkan, kelak mereka ini akan menjadi para pembuat kebijakan. Yang dalam dirinya telah terpatri sikap menghargai perbedaan. Mudah-mudahan kebijakan-kebijakan yang akan diambil bijaksana, tidak diskriminatif dan mampu menanggapi isu dengan cerdas. Kita akan maju, jauh melambung!  
Tahun ini ada 67 siswa belajar di sini. Tinggal di dalam dua asrama, putra dan putri. Sebenarnya yang mereka sebut sebagai asrama tepatnya adalah rumah. Siswa perempuan tinggal di rumah Ibu Yuyun, orang tua Ai. Disebutlah asrama putri. 
Yang memprihatinkan adalah asrama putra. Ukurannya memang cukup besar untuk ukuran rumah di perkampungan. Tapi umurnya sudah uzur. Penghuninya pun melebihi kapasitas. Tersedia 4 kamar yang masing-masing berukuran 3x4 meter. Rumah ini dihuni 24 siswa. Bisa bayangkan bagaimana mereka tidur. Ada yg di ruang tengah. Ada yang menyulap kamar sedemikian rupa. Ada yang menyulap sudut ruang tengah. Salah satu sulapannya dengan membuat semacam hammock. Tak hanya hemat ruang, itu membuat tubuh mereka bebas dari ciuman nyamuk.
Ketika gempa terjadi di Tasikmalaya Desember kemarin, rumah ini pun jadi korban. Genteng jatuh, tiang patah dan bergeser, serta dinding retak. Salah satu organisasi di Universitas Paramadina pun tergerak mengajak kita untuk membantu membangun asrama putra melalui kitabisa.com. 
Hidup tiga hari di sana, kawan, aku serius, mereka layak mendapatkan lebih dari sebuah bangunan!  Mereka bahkan butuh tempat tidur, karpet, bantal, selimut, tikar. Dan lebih dari itu, kita butuh sekolah ini terus berlanjut. 
Tak ada pungutan apa pun dari siswa. Fasilitas belajar, makan, penginapan, bahkan seragam sekolah disediakan. Sekolah ini hidup dari pemberian donatur tidak tetap. Dari penuturan Ai, seringkali sekolah ini minus. Meminjam dari bank pun dilakukan. Bulan ini saja dari donatur yang konfirm transfer baru senilai 3.6juta. Tanpa keajaiban mustahil sekolah ini bisa bertahan sampai sekarang.
Aku mengajak teman-teman ke sana. Rasakan atmosfirnya. Ada kelapa muda menyambut kalian, bebas petik dan gratis!  
Silakan kontak Irpan Ilmi (081216357010), Kepala Sekolah SMK Bakti Karya, jika ingin bertanya dan/atau memberi bantuan yang relevan.

Kilas Si Kumis

Baharzah Martin

Orang ini saya kenal sejak ia masuk kampus di Mampang, nama aslinya Aa Saepudin. Kini nama kerennya berubah menjadi Baharzah Martin. Nama singkatan kedua orang tuanya. Buka kegenitannya di Instagram @baharzahmartin

Dia yang mengenalkan saya pada Charlie Caplin  yang pernah singgah di Swiss Van Java alias Garut. Segala hal tentang Garut dan perubahan signifikan terhadap perkembangan audio visual di sana, orang ini sedikit banyak memberi warna.

Bersama beberapa saudara dan kawan dekatnya, Si Kumis, panggilan akrabnya yang lain, membuat genre video yang menarik. Buka saja akunnya.

Beberapa hal yang patut  saya syukuri adalah, ia terlibat langsung pada saat deklarasi Komunitas Belajar Sabalad pada penghujung Januari 2013 di Parigi, Pangandaran. Saat itu, ia memberi kejutan pada hadirin yang hadir dengan aksi panggungnya yang kocak. Cerita singkatnya, ia masuk ke dalam kardus, lalu bermonolog. Bagi orang Pangandaran, hal itu sangat baru. Baru!

Lalu ia pentaskan teater berkolaborasi dengan para pegiat Sabalad yang lain. Anda bisa melihatnya di sini.

Sosok humoris ini tak pernah saya masukan peringkat orang penting. Tapi karena pertimbangan yang rasional dan politis, saya menempatkannya sebagai sosok penting dalam hidup saya. Rasional karena ia mahasiswa filsafat yang cenderung berfilsafat dalam naskah filmnya juga dalam kegidupan sehari-harinya. Politis, karena bersama dengannya akan menjadi ikut populer di kalangan dede-dede gemes yang sering berfoto dengannya. Walau sampai saat ini dengan drama dan air mata sekalipun, ia tak mampuh menaklukan perempuan manapun.

Jika saya kasih peringkat, dia adalah manusia dengan nomor 7. Keuntungan bersamanya adalah dia lebih punya nyali dan rasa peduli daripada yang lain. Setiap bulan, dia menyumbang 250 rebu sebagai Kakak Asuh di Kelas Multikultural. Keuntungan yang lain adalah, saya bisa bersamanya dalam imaji. Sama-sama jadi ideal di tanah tandus bernama realitas.

Tiga Arena

Tiga Arena

Pernikahan adalah momentum penting. Sementara bertunangan adalah saat paling genting. Beruntung, telah melewati peristiwa sejam ini dengan lancar bercucur keringat dan bau badan.

Status saya “Menikah”. Jelas beda dengan status “Lajang”. Perbedaan status ini bukanlah menunjukkan gengsi atau membedakan kasta. Saya tetap hormat dan respect pada teman-teman yang menyandang status kedua. Saya juga paham, terutama pada malam minggu, status melajang adalah mendulang penderitaan. Tidak kasat mata, tetapi nyata menyiksa.

Lepas dari pergeseran status, saya sendiri menerima konsekuensi. Mengutip kata Abah Enju Rinekapalwa “Orang yang sudah menikah, bahagianya lebih dari yang lajang. Tetapi juga memiliki masalah yang lebih banyak.” Tentu saja, konsekuensi itu harus diterima dengan sering-sering berefleksi dan mengukur penggunaan waktu agar tidak terlalu kewalahan.

Pasca menikah, saya memutuskan untuk membagi arena hidup saya pada tiga hal. Keluarga, Kerjaan dan Hobi. Ketiga arena itu tidak bisa saya abaikan.
Sebagai sebuah institusi terkecil di dalam struktur sosial, saya menganggap keluarga adalah hal pertama yang harus diberi perhatian. Perioritas ini sangat masuk akal. Bagi saya keluarga adalah rumah tempat ternyaman sekaligus tempat yang selalu mendorong untuk kembali. Senyum, flat dan cemberut isteri adalah kemewahan. Belum lagi, saat ini saya sedang menunggu kelahiran anak pertama. Terbayang sudah, kebahagiaan yang tercipta saat bersama istri dan anak kelak. Membayangkannya saja sudah bahagia. Apalagi bila saya diberi kesempatan untuk memiliki anak sebanyak-banyaknya.

Di belakang konsekuensi menanti. Sebagaimana sering orang bilang, memiliki anak akan lebih sibuk dan tambah stres. Saya pun dapat menerkanya. Saya hanya berharap, apapun yang terjadi pada saat anggota keluarga menjadi banyak, saya akan berusaha tetap jadi anak pramuka ; rajin menjalankan kegiatan krumahtanggaan, terampil mendidik anak dan gembira bersama mereka.

Kerjaan
Terus terang ini menjadi dilema sendiri. Setiap orang tampaknya selalu berharap pekerjaan sesuai passion. Inginnya, pekerjaan mendapatkan penghasilan sebanyak-banyaknya dengan waktu kerjaan sedikit agar lebih banyak waktu untuk keluarga. Walaupun pada kenyataannya, pekerjaan menghabiskan waktu lebih banyak, lebih menyibukkan, lebih menyedot banyak energi dan terkadang harus mengorbankan keluarga.

Titik dilemanya ada pada niat awal bekerja. Untuk keluargalah  tiap orang perlu bekerja agar kebutuhan tercukupi. Akan tetapi, malah kebutuhan keluarga kerap terabaikan gara-gara bela-belain kerja. Begitu terus. Dilema ini menimpa hampir seluruh spesies manusia di abad ini. Karena itu, kerjaan terbaik adalah yang bisa sangat fleksibel dan tidak terlalu banyak mengambil waktu untuk keluarga.

Hobi
Saya percaya, tanpa hobi siapapun akan stres. Hobi terbaik adalah bekerja. Sekali gunakan waktu, dua hal ini terlaksana. Akan tetapi, berapa persen manusia di bumi yang memiliki nasib seberuntung ini? Tentu saja sangat sedikit. Umumnya, hobi justru bertolakbelakang dengan kerjaan. Jika bekerja mencari penghasilan, hobi umumnya menghabiskan hasil dan menukarnya dengan kesenangan. Ada banyak vasiasi tentang hobi. Tiap sidik jari memiliki perspektif yang berbeda tentang hobi ini. Saya lebih menganggapnya sebagai hal yang menyenangkan. Jika tidak terlaksana, akan sangat memusingkan.
Setelah berefleksi di lereng Galunggung dan melakukan meditasi di Goa Lanang, saya meyakini hobi saya adalah berkomunitas. Karena itu, sejak zaman jebet (2006 silam), saya berkomunitas tiada henti. Sampai pada akhirnya harus merambah ke ranah formal dengan mengembangkan sebuah SMK di Parigi Pangandaran. Mengelola sekola adalah hobi? Ya betul. Hobi yang menurut istri saya menghabiskan lebih banyak energi karena berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Saya tidak dalam rangka menjelaskan atau curcol soal hobi saya yang mahal itu. Mahal, karena setiap minggu saya harus mengunjunginya walau jaraknya cukup jauh dari tempat tinggal saya. Untuk menambah keterangan seberapa mahal hobi itu, nanti saya buatkan artikel berbeda.

Terima kasih sudah membaca.

Sekolah Bermuatan Multikultural Dikembangkan di Pangandaran

Sekolah Bermuatan Multikultural Dikembangkan di Pangandaran


PARIGI, (KAPOL).- Semakin tingginya tuntutan hari ini terhadap dunia pendidikan, tidak lagi hanya menjadikan agen perubahan yang mesti dilahirkan dari proses panjang tersebut. Namun, juga kaum terdidik yang mampu berperan sebagai agen perdamaian bagi lingkungannya.
Demikian ditegaskan Ketua Yayasan Darma Bakti Karya Pangandaran, Ai Nurhidayat S.Ikom. Menurut dia, sebagai negara yang memiliki kekayaan budaya begitu beragam dan majemuk, telah semestinya pembelajaran terkait hal tersebut lebih dipertajam lagi.
“Sejauh ini, kemajemukan, tolerasi, perdamaian, hanya dipelajari sebatas teori dan buku teks saja. Alhasil, penerapannya dalam kehidupan masih belum optimal. Padahal, perbedaan tersebut bukan tidak mungkin dihadirkan di kelas, di sekolah kok. Malah itu sangat mungkin, kiranya ini yang kemudian mendorong kami menciptakan program Kelas Multikultural,” ungkap pria yang juga penggagas program tersebut di SMK Bakti Karya tersebut.
Konsep baru yang tetap berorientasi membawa pendidikan yang menyenangkan ini, kemudian mengkondisikan kemajemukan di lingkungan sekolah. Melalui siswa yang berasal dari latar belakang berbeda, mulai daerah, suku, etnis, agama, hingga status sosial akan begitu bervariasi, tentu diharapkan mampu mengasah tolerasi akan perbedaan tersebut. Selain juga, siswa mendapatkan pengalaman baru. Lebih penting lagi, dengan mengupayakan keterlibatan itu, siswa pun diyakini bakal terbiasa menghadapi segala macam perbedaan dan melahirkan tingginya semangat toleransi.
“Memang ini seyogyanya diterapkan semua sekolah juga, jadi jangan sampai meluluskan siswa hanya sesuai jurusan saja. Tapi harus siswa yang dicetak itu dengan lulus mental keterbukaannya, menghargai perbedaan, cinta damai,” ujar Ai.
Pihaknya menargetkan ada 25 perwakilan dari 25 kabupaten/kota sepenjuru Tanah Air, untuk program Kelas Multikultural yang baru diterapkan tahun akademik 2016/2017 ini. “Yang jelas, model pembelajaran ini mengacu pada standar kurikulum nasional dan muatan Multikulturalisme yang dikembangkan pihak sekolah dibantu oleh lembaga-lembaga universitas dan NGO,” tambah dia.
Setidaknya, ada lima konsep utama dalam program utama sekolah yang telah berdiri sejak tahun 2011 ini, yakni tolerasi, perdamaian, kelas aktif, terkoneksi, dan kaya budaya. Pihaknya juga telah menyiapkan materi tambahan terkait ekologi, demi semakin menyempurnakan proses pembelajaran yang disampaikan oleh guru-guru muda, profesional, dan berkualitas tersebut.
“Kami percaya kepribadian bangsa itu ada dan terletak pada kebudayaan, sehingga pemahan terkait multikulturalisme ini mesti direngkuh para siswa. Kelak ini bisa menjadi bekal bagi mereka untuk menjadi modal perkawanan lintas daerah dan lintas negara,” ujar dia. (Astri Puspitasari)***

Sumber: https://kabarpriangan.co.id/sekolah-bermuatan-multikultural-dikembangkan-di-pangandaran/