Sekolah Bagus

Celoteh Ai Nurhidayat


Sekolah yang bagus itu yang gimana, yak?

Pertanyaan ini patut dilontarkan kepada semua pihak yang percaya pendidikan sebagai jalan terbaik untuk segenap manusia menghadapi tantangan kehidupan.

Jadi, sekolah yang bagus itu apa?

Ada dua hal yang harus terlebih dahulu tuntas di sini. Istilah sekolah dan istilah bagus.

Sekolah, asal katanya 'scholae' (Latin) waktu luang. Mulanya, istilah ini menggambarkan pada suatu masa di Yunani, orang yang sekolah adalah yang memiliki waktu luang. Mereka adalah kalangan orang terpandang, kaya dan tidak memiliki tuntutan bekerja. Biasanya, anak-anak pembesar yang keluarganya berkecukupan.

Kaum pekerja, tidak ada waktu luang untuk datang berkumpul menyimak pengetahuan. Mereka harus bekerja. Tidak ada kesempatan mengakses pengetahuan dari catatan yang hanya kalangan tertentu saja. Apalagi ikut diskusi dan berpikir, mendebat sesuatu yang berat.

Apa kaitan sekolah, belajar dan pendidikan? 

Sekolah adalah salah satu tempat belajar dan bagian kecil dari pelaksanaan pendidikan.

Karena hanya salah satu tempat dan bagian kecil saja dari pendidikan, sekolah memang layak disebut tempat mengisi waktu luang. 

Orang tua bekerja atau memiliki kesibukan, anaknya tentu dapat mengisi waktu luang untuk sekolah. Belajar mengakses sumber pengetahuan dan berinteraksi dengan sesama peserta lain agar tradisi pengetahuan tumbuh. Tapi tentu pengetahuan yang dimaksud berkaitan dengan ilmu, sikap dan keterampilan.

Jadi, istilah sekolah menunjukkan pada ruang interaksi peserta, dengan sejumlah teman termasuk fasilitator untuk membincang ilmu, mengelola sikap dan mengulik keterampilan.

Sekolah bukan tentang bangunan, hanya memang perlu tempat yang nyaman. Bukan pula tentang alat, walaupun saat belajar butuh fasilitas yang menunjang. Apalagi tentang biaya, karena tanpa biaya sekalipun, sekolah dapat berlangsung. Hanya saja, yang terakhir ini agar tidak menyulitkan diri sendiri, setiap orang yang terlibat harus membincangkannya, menyepakati bersama apa yang benar-benar diperlukan.

Setelah tuntas membincang soal sekolah, mari kita membincang soal istilah bagus. Bagus adalah yang sesuai dengan selera setiap orang dan pasti berbeda-beda. Semakin banyak yang memiliki selera sama, belum dapat dikatakan bagus. Bagus atau tidak bukan soal pilihan mayoritas, tapi soal memenuhi selera. Karena itu, sebuah tempat disebut bagus hanya bila memenuhi selera orang yang merasakannya. Selera orang berubah-ubah. Jadi bisa jadi, bagus tidaknya sebuah tempat berubah seiring situasi. 

Pada pertanyaan sekolah yang bagus yang seperti apa? Kita sudah bisa menebaknya. Sekolah bagus adalah yang menjawab selera orang yang merasakannya. 

Jadi kalau mencari sekolah bagus, mulailah dengan yang sesuai selera. Rasakan semua hal yang ada di sekitarnya. Jika sesuai, itulah sekolah bagus. Jika tidak sesuai, berarti sekolah itu bukan bagus untuk kita. Mungkin, sekolah itu bagus untuk orang lain yang memiliki seleranya sendiri.

Apakah sekolah bagus perlu dibincangkan terus menerus? Harus. Tapi membincang sekolah bagus dimulai dari membincang 'selera kita' terlebih dahulu. Karena dalam kehidupan, kita adalah subjeknya. Kita yang harusnya selesai membincangkan diri kita yang hidup dari pada membincang objek yang mati.

Dayat

Dayat

Ada banyak Dayat. Dayat satu ini adalah seorang pengurus mesjid sebuah tajug kecil di sebuah blok seluas RT di tengah dusun Cikubang yang disebut Karangtengah. Sebelum berkisah tentang Dayat, mari telusuri asal-usul kampung ini.

Karangtengah menurut warga setempat bermula dari sebuah mumuntuk, bukit kapur karang yang jika Kampung Cikubang banjir, yang tidak terendam hanya mumuntuk itu. Bukit itu kecil, terkenal angker dan mengandung surupan air. Tempat mukim ikan seperti lele, udang, betok, sepat dan jenis ikan lain.

Bah Kidik, seorang warga yang meninggal di akhir abad lalu, mengusulkan Karangtengah diganti dengan Sukamaju. Usulan Bah Kidik diterima begitu saja lantaran sosok tua berambut putih itu seorang pertapa yang bagi sebagian penduduk menjadi tempat bertanya. Orang sekarang mungkin akan menyebutnya dukun. Entah terawangan apa yang mendorong Bah Kidik mengubah nama tempat ini menjadi Sukamaju. Sejumlah warga mengamini saja dengan harapan kampung ini benar-benar menyukai kemajuan.

Belakangan ramalan Bah Kidik benar. Setelah ada siswa dari berbagai wilayah Nusantara belajar dan tinggal di kampung itu, Sukamaju menjadi tempat yang didatangi banyak orang. Sejak tahun 2018, kampung itu memiliki sebutan baru, yaitu Kampung Nusantara. Sejak saat itu pula, tajuk yang dijadikan tempat ibadah warga itu berganti nama menjadi Mesjid Istiqlal. 

Sebagai pengurus mesjid, Dayat sering menjadi imam mesjid, muadzin, dan menabuh beduk, tukang sapu. Imam mesjid sebenarnya adalah Mang Apan, pengurus DKM di mesjid jami' atau mesjid yang sering digunakan Jumatan. Muadzin sebenarnya juga adalah Ki Ating yang sejak janari atau sebelum subuh sering melantunkan pupujian. Dayat menjadi serep imam dan muadzin manakala Mang Apan dan Ki Ating absen.

Di luar waktu shalat, Dayat adalah seorang pembimbing asrama. Setelah subuh, sosoknya akan dijumpai di dapur asrama bersama siswa yang piket untuk menanak nasi. Nasi ini menjadi makanan pokok yang akan dihidangkan untuk sarapan pagi dan makan siang siswa asrama dan keluarganya. Sekitar 60 porsi untuk sekali makan.  

Untuk makan malam, Dayat kembali memasak bersama siswa yang sudah terjadwal piket seminggu sekali. Sebagai pembimbing asrama, Dayat juga mengurusi sejumlah lahan yang hasil produksinya digunakan untuk kebutuhan lauk yang akan disantap siswa asrama. Sayuran, ubi-ubian, buah-buahan, ikan, dan padi yang ditanam dan dipelihara ini berada di 9 titik lahan miliknya dan sebagian lahan milik yayasan.

Untuk mengurusi lahan yang tersebar di beberapa desa itu, sekali waktu Dayat dibantu oleh siswa. Termasuk untuk belanja ampas tahu, memberi makan ikan, menyiapkan lahan tanam, daut,
tandur, ngarambet, panen padi, jemur padi hingga padi siap disimpan.

Setiap Sabtu, atau waktu-waktu terjadwal di sekolah, Dayat menjadi pemandu sekolah lapang. Pengalamannya dalam mengelola lahan secara ekologis sangat berguna untuk membantu siswa memahami praktik pertanian yang berkelanjutan.

Apa sesungguhnya latar belakang Dayat? Sebentar. Kita lihat dulu aktivitasnya yang lain.

Social Cultivator | Ai Nurhidayat | Kelas Multikultural

Ini jejak digital saat saya diberi kesempatan oleh TEDxJakarta pada tahun 2018. Acara yang digelar di Balai Sarbini Jakarta ini diberi tema Jagad Manusia. Saya hanya bercerita tentang pengalaman yang saya alami dalam membuat Kelas Multikultural dan Kampung Nusantara.

Berikut videonya :

Tentu saja banyak hal yang tidak terceritakan dan banyak juga yang perlu dilengkapi. Tetapi sedikit banyak apa yang disampaikan adalah apa yang sedang diperjuangkan. Semoga Indonesia menjadi lebih keren.

Menimba Ilmu dan Merawat Toleransi


Dikutip dari Tempo.co

Saya jadi punya kesadaran membuang sampah pada tempatnya, mau bersih-bersih tanpa disuruh yang tadinya nunggu disuruh dan nggak mau, tahu perspektif orang gimana, bertemu banyak orang hebat yang membuat  saya nggak akan jadi apa-apa kalau ngikutin diri sendiri dan nggak mau usaha, pentingnya menghargai orang lain,lebih menghargai waktu, bisa kerja sama juga, banyak pengetahuan yang kalo saya nggak di sini nggak mungkin didapat, atau kecil kemungkinannya.” Nur Afandi, siswa kelas XI SMK Bakti Karya Parigi. 
Martin Rambe berdiskusi malam bersama siswa Kelas Multikultural.
Sebagian dari mereka tengah berlibur tahun baru 2018. 
Tinggal bersama para siswa SMK Bakti Karya adalah pengalaman paling berkesan selama hampir dua minggu liburan di Pangandaran kemarin. Tepatnya di Desa Cinta Karya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran. Dua hari tiga malam berinteraksi langsung dengan mereka, itu ibarat jatuh cinta. Di satu sisi aku melihatnya sempurna, di sisi lain aku sadar ada yang harus dijaga dan dikembangkan agar tetap memancarkan cinta. Kelihatannya berlebihan, tapi ya begitulah kurasa.
SMK ini mulai dikelola dengan prinsip multikultural sejak 2016. Jadi, hingga saat ini ada perwakilan dari 11 provinsi di Indonesia yang belajar di sana. Mereka sangat beragam. Bahasa, suku, latar belakang sosial, dan agama. Tentu kesempatan selalu terbuka untuk menghadirkan siswa yang lebih beragam lagi.
Banyak hal menarik, salah satunya siswa asal Papua, Apnel Yekwam, yang sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia ketika pertama kali datang. Dia bisa lulus UN itu kayak gimana ya? 
Menurut cerita Ai Nurhidayat, pengelola sekolah ini, awalnya ia ragu menerima Apnel. Namun, setelah banyak ngobrol dengan pihak sekolah asal Apnel, ia terima juga. Terutama karena prinsip sekolah ini tak menilai kompetensi siswa dari hanya sekadar angka. Maka tak ada alasan bagi Ai tak menerima Apnel. Bahkan kata Ai pun mereka bisa berinteraksi dengan baik, menikmati proses, tertawa bersama itu sudah lebih dari cukup. 
Lain lagi cerita Ismail Rumaru, siswa kelas XI asal Maluku. Awalnya ia tak mau bergaul dengan orang Aceh, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan. Ia memendam prasangka buruk terhadap mereka. Awalnya ia berpikir orang Aceh itu suka membicarakan orang lain dengan bahasanya sendiri atau orang Kalimantan itu keras-keras karena parasnya garang. Tapi setelah suatu hari mereka saling bercerita, ia sadar kalau berbeda itu asyik. Ia akhirnya mengaku salah atas prasangkanya. Ismail bahkan menjadi pengagum logat Aceh.
Ada yang lebih menarik lagi. Soal ekspresi mereka. Aku agak sulit menggambarkannya. Tapi aku merasa yakin, selama dua hari penuh berinteraksi dengan mereka, ekpresi yang terpancar adalah kebahagiaan. Tanpa beban. Tanpa merasa ada yang kurang. Plong. Lepas. Bahagia menjalani semua proses. Beda dengan anak-anak sekolahan formal pada umumnya.
Ai memang mengatakan metode belajar dibuat menyenangkan. Banyak bermain di lapangan. Misalnya ketika belajar tentang demokrasi mata pelajaran Kewarganegaraan, para siswa diajak langsung ke kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah, belajar Bahasa Inggris dengan permainan, dan lain-lain.  Tapi kurasa tak hanya soal metode belajar, tapi pesan apa yang mereka dapatkan dan pahami dari setiap proses yang mereka alami. Itu berperan penting pada bagaimana mereka mengekspresikan diri. 
Kata Ai ada lima konsep utama yang selalu mereka terapkan pada setiap proses di sekolah multikulural ini. Perdamaian, toleransi, terkoneksi, kelas aktif, dan eksplorasi budaya. Aku pikir ekspresi yang dipancarkan para siswa tak lepas dari lima konsep di atas.   
Internalisasi konsep-konsep itu terasa nyata bahkan saat pertama kali aku datang. Menemukan para siswa di saat libur menghabiskan waktu di lab komputer dan perpustakaan. Ada yang lagi membaca. Ada yang sedang mengedit video. Ternyata mereka sedang kegandrungan bikin video blog. Klik di sini untuk melihat salah satu karya mereka.  
Hatiku semakin meleleh ketika berbincang-bincang dengan mereka. “Untuk mengerti satu hal, ternyata banyak caranya. Guru-guru di sini membuatnya menyenangkan,” kata Yohan, siswa dari Flores. Mereka juga mengaku bangga belajar di sini. “Ketemu seluruh orang Indonesia,” kata Aditya Sujana, siswa asal Kalimantan Timur. Mereka tak hanya tahu, tapi juga hidup bersama. Dialog multikulural yang memang salah satu prinsip sekolah ini sungguh terjadi. Toleransi ditanamkan pelan tapi pasti. 
Aku membayangkan, kelak mereka ini akan menjadi para pembuat kebijakan. Yang dalam dirinya telah terpatri sikap menghargai perbedaan. Mudah-mudahan kebijakan-kebijakan yang akan diambil bijaksana, tidak diskriminatif dan mampu menanggapi isu dengan cerdas. Kita akan maju, jauh melambung!  
Tahun ini ada 67 siswa belajar di sini. Tinggal di dalam dua asrama, putra dan putri. Sebenarnya yang mereka sebut sebagai asrama tepatnya adalah rumah. Siswa perempuan tinggal di rumah Ibu Yuyun, orang tua Ai. Disebutlah asrama putri. 
Yang memprihatinkan adalah asrama putra. Ukurannya memang cukup besar untuk ukuran rumah di perkampungan. Tapi umurnya sudah uzur. Penghuninya pun melebihi kapasitas. Tersedia 4 kamar yang masing-masing berukuran 3x4 meter. Rumah ini dihuni 24 siswa. Bisa bayangkan bagaimana mereka tidur. Ada yg di ruang tengah. Ada yang menyulap kamar sedemikian rupa. Ada yang menyulap sudut ruang tengah. Salah satu sulapannya dengan membuat semacam hammock. Tak hanya hemat ruang, itu membuat tubuh mereka bebas dari ciuman nyamuk.
Ketika gempa terjadi di Tasikmalaya Desember kemarin, rumah ini pun jadi korban. Genteng jatuh, tiang patah dan bergeser, serta dinding retak. Salah satu organisasi di Universitas Paramadina pun tergerak mengajak kita untuk membantu membangun asrama putra melalui kitabisa.com. 
Hidup tiga hari di sana, kawan, aku serius, mereka layak mendapatkan lebih dari sebuah bangunan!  Mereka bahkan butuh tempat tidur, karpet, bantal, selimut, tikar. Dan lebih dari itu, kita butuh sekolah ini terus berlanjut. 
Tak ada pungutan apa pun dari siswa. Fasilitas belajar, makan, penginapan, bahkan seragam sekolah disediakan. Sekolah ini hidup dari pemberian donatur tidak tetap. Dari penuturan Ai, seringkali sekolah ini minus. Meminjam dari bank pun dilakukan. Bulan ini saja dari donatur yang konfirm transfer baru senilai 3.6juta. Tanpa keajaiban mustahil sekolah ini bisa bertahan sampai sekarang.
Aku mengajak teman-teman ke sana. Rasakan atmosfirnya. Ada kelapa muda menyambut kalian, bebas petik dan gratis!  
Silakan kontak Irpan Ilmi (081216357010), Kepala Sekolah SMK Bakti Karya, jika ingin bertanya dan/atau memberi bantuan yang relevan.

Kilas Si Kumis

Baharzah Martin

Orang ini saya kenal sejak ia masuk kampus di Mampang, nama aslinya Aa Saepudin. Kini nama kerennya berubah menjadi Baharzah Martin. Nama singkatan kedua orang tuanya. Buka kegenitannya di Instagram @baharzahmartin

Dia yang mengenalkan saya pada Charlie Caplin  yang pernah singgah di Swiss Van Java alias Garut. Segala hal tentang Garut dan perubahan signifikan terhadap perkembangan audio visual di sana, orang ini sedikit banyak memberi warna.

Bersama beberapa saudara dan kawan dekatnya, Si Kumis, panggilan akrabnya yang lain, membuat genre video yang menarik. Buka saja akunnya.

Beberapa hal yang patut  saya syukuri adalah, ia terlibat langsung pada saat deklarasi Komunitas Belajar Sabalad pada penghujung Januari 2013 di Parigi, Pangandaran. Saat itu, ia memberi kejutan pada hadirin yang hadir dengan aksi panggungnya yang kocak. Cerita singkatnya, ia masuk ke dalam kardus, lalu bermonolog. Bagi orang Pangandaran, hal itu sangat baru. Baru!

Lalu ia pentaskan teater berkolaborasi dengan para pegiat Sabalad yang lain. Anda bisa melihatnya di sini.

Sosok humoris ini tak pernah saya masukan peringkat orang penting. Tapi karena pertimbangan yang rasional dan politis, saya menempatkannya sebagai sosok penting dalam hidup saya. Rasional karena ia mahasiswa filsafat yang cenderung berfilsafat dalam naskah filmnya juga dalam kegidupan sehari-harinya. Politis, karena bersama dengannya akan menjadi ikut populer di kalangan dede-dede gemes yang sering berfoto dengannya. Walau sampai saat ini dengan drama dan air mata sekalipun, ia tak mampuh menaklukan perempuan manapun.

Jika saya kasih peringkat, dia adalah manusia dengan nomor 7. Keuntungan bersamanya adalah dia lebih punya nyali dan rasa peduli daripada yang lain. Setiap bulan, dia menyumbang 250 rebu sebagai Kakak Asuh di Kelas Multikultural. Keuntungan yang lain adalah, saya bisa bersamanya dalam imaji. Sama-sama jadi ideal di tanah tandus bernama realitas.