Refleksi Hari Guru dan APBD yang Anti-partisipatif


Guru dan Pamrih

Dunia selalu menyimpan peristiwa kebetulan. Di sebuah tempat yang dipenuhi pohon jambu, aku mendengar seorang kawan mendeskripsikan sebuah kata istimewa, terlebih bagi para guru : pamrih.
Katanya begini. Jika anda mencuci piring lantaran ada piring kotor, itu sebuah hal yang pamrih. Jika anda mencuci piring karena hobi, itu bukan pamrih. Cara mengujinya gampang, beri aja piring kotor semobil truk, akan ketahuan mana yang menjalani dengan suka cita.
Di momentum yang spesial ini, hari guru, aku merasakan banyak hal yang perlu koreksi. Aku baru dua tahun menjadi guru. Setahun lebih terlibat dalam pengelolaan sekolah tingkat menengah. Motivasiku jadi guru selama ini ternyata keliru.
Pertama, aku menjadi guru yang padahal bukan cita-citaku bermula dari kekesalanku pada sekolah yang sudah ada di daerahku. Ribuan lulusan setiap tahun begitu-begitu saja. Selalu yang terjadi pengangguran dan rendah minat melanjutkan. Karena itu tekadku mengintervensi untuk mengubah. Aku salah.
Kedua, aku mau menggunakan waktuku menjadi guru lantaran kesal dengan sistem belajar yang menindas di sekolah-sekolah. Bagaimana tidak, siswa diberlakukan seperti bebek yang hanya diperintah menginduk, bukan pada gurunya, melainkab pada teks LKS atau buku mata pelajaran. Padahal pendidikan lebih dari itu. Pendidikan adalah upaya merawat benih yang sudah tumbuh, bukan memaksanya menelan materi aja berupa teks. Kehidupan manusia lebih luas dari hanya sekedar mengikuti buku. Untuk alasan kedua ini pun, aku keliru.
Ketiga, aku terlibat di sekolah sebagai guru karena ada keliru managemen atau gagal tata kelola dimana pada saat itu aku tergerak menyelesaikannya dengan harapan sekolah bisa maju. Alasan ketiga itu pun aku keliru. Aku masih terkategori pamrih.
Seharunya aku mengajar karena hobi, karena cinta, karena enjoy menjalaninya. Jadi sehebat apapun persoalan yang dihadapi tak membuatku surut mengajar. Pun jika tak ada masalah lagi aku akan tetap mengajar. Walau tanpa ada gaji, tanpa jaminan pensiun, tanpa asuransi, tanpa uang-uang jenis lain.
Hari guru mengingatkanku pada pesan itu. Sebuah perenungan yang memaksaku kembali melihat ketulusan hati pada pendidikan.
Hak atas Pendidikan
Menjadi Kepala Program sekaligus Wakil Kepala Sekolah Bidang Kerjasama dan Pengembangan di sebuah sekolah menyeretku pada persoalan yang tak bisa ditinggal, yaitu hak manusia atas pendidikan.
Pendidikan menjadi kebutuhan dasar yang tak bisa dihalang-halangi. Konstitusi kita menjamin itu dalam preambul UUD 1945. Hak atas pendidikan ini perlu diberikan pada manusia Indonesia agar tercipta kehidupan bangsa yang cerdas. Tetapi betulkah pemerintah telah memenuhinya secara adil?
Belum. Negara yang mestinya hadir memastikan pemenuhan ini ternyata absen. Pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten tak mampu hadir membagi keadilan.
Aku agak berat mengatakan ini, khawatir ada pihak yang tersinggung. Tetapi apa boleh dikata, alam pikir tak bisa dipendam dalam senyap. Kejadian bertepatan dengan hari guru yang diberitakan KP (25/11) dimana para pejabat bolos sidang paripurna dengan alasan sibuk menata anggaran agar terserap membuka banyak pertanyaan. Apakah penyerapan itu berdasar pada partisipasi atau tidak.
Sebagai pengelola sekolah, aku tak pernah merasakan ada survei kebutuhan atau menanyakan upaya memperbaiki kualitas pendidikan dari dinas (Disdikbudpora). Absennya upaya itu tak bisa masuk dalam pikiran mengingat dana 70% APBD harus dibelanjakan oleh instansi ini.
Bagaimana mereka menyusun program wong tanya pada sekolah saja tidak. Katanya pemerintah memahami keadilan, biarpun sekolah kecil, tetap kita meragukan pemahaman itu.
Ada setumpuk penjelasan manakala ini diperlukan. Tetapi aku hanya sebatas menunjukan bahwa selama ini, kita patut menduga, bahwa kegiatan pelaksanaan APBD minim partisipasi. Atau bahkan anti-partisipatif jika hanya memainkan logika penganggaran melalui asumsi.
Benar demikian atau tidak, pihak terkait harus membuktikannya ke publik.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »