Menyambut Diaspora Indonesia


Oleh Ai Nurhidayat

“Banyak anak muda yang menunggu momentum yang pas untuk kembali ke Tanah Air. Moemtum yang tepat itu tahun 2014”

Kurang lebih begitu ucapan seorang WNI Asal Indonesia ini terekam dalam surat kabar. Sepertinya, suaranya mewakili mereka para diaspora Indonesia yang ada di luar negeri. Bahkan, mewakili sebagian warga Indonesia yang belum pernah, tidak sedang, atau bukan diaspora. Mengingat, jika kembali ke Indonesia sebelum 2014, suasana tidak memungkinkan untuk bebar dari hiruk-pikuk politik.
Diaspora Indonesia menjadi wacana baru yang jarang terekspose di media massa. Pengertian umumnya, diaspora Indonesia adalah orang yang memiliki ikatan dengan Indonesia.  Namun dalam konteks ini, diaspora lebih longgar diartikan sebagai orang yang berasal dari Indonesia, orang yang pernah memiliki Indonesia, atau yang memiliki hubungan leluhur dengan orang Indonesia.  

Diaspora Indonesia yang sementara ini terjaring berjumlah 3 juta orang (Keterangan Dino Pati Djalal). Barangkali angka ini belum menunjukan yang sesungguhnya. Beberapa orang memperkirakan sekitar 6 hingga 10 juta. Angka ini tentu saja bukan angka yang sedikit. Bila benar menyentuh angka 10 juta, itu berarti setara dengan sepuluh kabupaten.

Dengan jumlah sebanyak itu, semestinya kita mampu menciptakan berbagai kemajuan untuk bangsa. Tetapi rupanya, gerakan diaspora Indonesia terbilang telat. Indonesia dalam hal ini mesti melirik keberhasilan Negara semisal Cina, India, Israel agar bisa menggunakan diaspora sebagai instrument yang berguna untuk mendorong cita-cita kemerdekaan.

Menyimak hasil KDI 1 tempo hari di Amerika, Diaspora semakin diberi ruang perhatian cukup menggembirakan. Terlepas dari kepentingan politik tertentu, diaspora memang pastas digunakan sebagai bagian dari ikhtiar baik dalam membuka ruang pertukaran informasi, investasi, dan seterusnya.
Karena itu, gerakan semacam ini perlu didukung oleh insan muda terutama yang menaruh minat untuk perbaikan bangsa ke depan.

Sebagai pengamat yang ikut menyimak perkembangan diaspora, saya menaruh harapan besar untuk gerakan diaspora ini. ada berbagai alasan yang bisa memperkuat dukungan saya ini. salah satunya karena kondisi di dalam negeri sendiri yang (masih) amburadul. Masalah penegakan hukum dan pembasmian korupsi, masalah pangan, masalah kebudayaan, dan sebareg masalah lainnya sudah tak susah disebut. Semuanya menghantui generasi muda seperti saya. Tentu saja ini karena ada musabab yang tak kalah mengerikan. Persoalan ekonomi politik mentinya menempati unrutan pertama untuk diselesainkan.

Wilayah ekonomi politik kita masih sepenuh hati melihat pendidikan, kebudayaan (terutama). Misalnya dalam menghadapi angka kemiskinan, pemerintah mengambil tindakan mengimpor ketimbang menyediakan dalam negeri. Selain itu, pemerintah berpihak pada pengusaha besar, dan cenderung melupakan sector ril. Misalnya dalam pengaturan frekuensi media massa. Secara telanjang, pemerintah membiarkan isi kepala warga utuk 5 pemilik perusahaan media di Indonesia. Dalam menjalankan tugas terkait persoalan ekonomi politik ini, pemerintah tak berhasil menjaga asset Negara.

Selain itu, pemerintah menghadapi persoalan cenderung diselesaikan secara kasar (di luar hukum atau bahkan mempermainkan hukum). Negara memiliki rekaman yang cukup buruk manakala represif dalam menghadapi rakyatnya.  Seharusnya kita belajar tentang beberapa hal.

Begitu Rusia meluncurkan roket ke luar angkasa yang membuat kaget dunia, terutama Amerika, ada sebuah kejadian kecil tapi penting. Kenedy Presiden Amerika yang kala itu mendengar kabar tentang peluncuran roket sebagai sebuah karya utakhir orang Rusia. Kalimat yang terlontar dimulutnya adalah “apa yang salah dengan pendidikan di negeri ini?”. kemudian sejak saat itu, Amerika memberi perhatian yang begitu besar. Kenedy melihat pendidikan sebagai aspek terpenting dalam kemajuan Negara.

Gambaran itu sepertinya patut kita perhatikan dengan terbuka. Teladan yang diberikan Kenedy, tentu saja daam persoalan menyikapi arti penting pendidikan, mesti kita simak baik-baik. Kontras dengan yang dilakukan di Negara kita. Sudah jauh tertinggal pun, pendidikan masih berjalan lambat, bahkan banyak yang menyimpang. Ini sebetulnya faktor yang menghambat Indonesia.

Sebagai jalan keluar yang ditawarkan, untuk menyikapi gelombang diaspora dan menyikapi hal-hal yang dianggap darurat di dalam negeri yang peru diselesaikan, sebaiknya anak muda segera mengambil langkah.

Di Pangandaran, Jawa Barat, wacana tentang diaspora juga dibahas dalam forum mini pada penghujung 2011 lalu. Buahnya adalah terjalinnya komunikasi antar anak muda yang pada puncaknya membentuk komunitas belajar Sabalad (di youtube : “sabalad”).  

Kita memang belum merasakan ke luar negeri, tetapi kita menyimak dari bacaan tentang diaspora Negara lain. Kita melihat betapa pentingnya jika diaspora Indonesia juga diangkat sebagai bagian dari strategi kebangsaan. Kita membutuhkan informasi, dukungan dan sinergitas dengan para diaspora Indonesia. Karena itu, menjelang KDI 2 pada 18-20 Agustur 2013 ini, kami mengucapkan selamat datang, selamat datang kembali di Indonesia. Semoga acara yang dimaksud memberi angin segar, terutama untuk generasi muda di Indonesia.

Demi Indonesia !

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »