Mas Marco, Tinjauan dari Jauh



Oleh Ai Nurhidayat

Komunisme bisa jadi paham yang digandrungi tokoh pergerakan generasi pertama dengan diikuti generasi berikutnya. Ide ini tidak jauh dari ide-ide Marx yang sudah dikomuniskan oleh sederet pemikir dan tokoh gerakan di Eropa Timur dan Asia.
Paham ini tidaklah sampai ke Indonesia begitu saja. Ada beberapa tokoh yang secara teguh membaca, merancang gerakan, hingga melaksanakan tindakan praksisnya. Adalah seorang Marko Kartodokromo yang biasa dipanggil Mas Marco.
Yang menarik dari Mas Marco adalah, dia memanfaatan media sebagai alat penyampai gagasan sekaligus penyulut gerakan. Mas Marco, kemudian menjadi penggerak organisasi “kiri” terutama Sarekt Islam dan dipungkas dengan keterlibatannya membentuk organisasi di pengasingan. Sebagai tokoh buangan penghuni Digoel, ia teguh dalam mewarnai perjuangan komunisme yang bisa dikatakan “selalu kalah”. Walau begitu, “kehalahan” itu tidak percuma. Sebagian dampak kekalahannya masih menjadi penyulut gerakan kiri.
Sebagai penyebar komunisme, Marco melihat Indonesia sebagai daerah yang perlu dibebaskan dengan memberi penerang melalui media. Sederet media pernah menjadi tempatnya menemukan identitas kebangsaan. Malah, Mas Marco membidani media sendiri tak lain sebagai alat penerangan dan perjuangan yang menyebabkannya beberapa kali dibuang atau dipenjarakan.
Doenia Bergerak, salah satu tempatnya berkarya menjadi alat juang. Melalui media itu, Marco mengorganisir jurnalis kala itu dalam Inlandshe Journalisten Bond (IJB) di Surakarta. Dalam sejarah kewartawanan di Indonesia, Mas Marco bersama dengan Tirto Adihi Soeryo pantas disebut peletak dasar pers perjuangan.
Pilihan bergerak dengan menggunakan kekuatan media menjadi pilihan strategis dan berdampak panjang. Uniknya, penggunaan media yang dilakukannya bukan sekedar beropini, menyampaikan fakta terkait komunisme, tetapi juga berkarya dalam bentuk sastra.
Puisinya yang memperkenalkan istilah “sama rata sama rasa” cukup menjadi rangkuman dari isi pikiran dan gerakan yang hendak diperjuangkan. Tampaknya, Mas Marco secara sadar atau tidak, menggunakan sastra sebagai alat perjuangan. Ini yang kemudian menjadikannya tokoh yang perlu diberi perhatian khusus, utamanya dalam perjuangannya dalam rangka memelopori perjuangan memperoleh kemerdekaan. Jalannya yang “selalu kalah” ini merupakan pengorbanan yang penting dan berarti untuk kaum kiri selanjutnya.

* Tulisan ini berupa pointer hasil bacaan saya dalam rangka meninjau Mas Marco dari “jauh”. Karenanya begitu umum dan awam. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »