Belajar Pada Maling



Sebuah percakapan di sekolah sering merepresentasikan persoalan yang tengah dihadapi para guru. Satu demi satu persoalan terkupas pada saat istirahat atau tengah menunggu jam mengajar tiba. Saya menemukan soal besar yang siang tadi muncul dalam perbincangan. Kenapa semakin banyak sekolah, kebodohan dan kemalasan tetap ramai. Kenapa semakin banyak pesantren, moralitas tak kunjung membaik. Kenapa semakin menyebar perguruan tinggi, masalah seperti semakin banyak? Pertanyaan yang memanaskan perbincangan.

Sekolah meluluskan banyak pelajar terdidik. Pesantren meluluskan santri religius, perguruan tinggi meluluskan sarjana yang cakap di bidangnya. Itu berarti saat ini semakin banyak guru, semakin banyak orang berilmu jebolan lembaga pendidikan. Tetapi, dapatkah kita jawaban, kenapa orang bringas semakin banyak. Orang korup tak habis-habis. Orang yang anti toleran semakin mengerikan. Belum lagi kemalasan, dan keacuhan semakin menghantui. Kita lantas mengelus dada.



Setelah lama direnungkan, kita lah penyebabnya. Para pendidik, salah satunya, masih kalah dengan maling. Niat kita, tidak sehebat maling. Metode kita dalam mengajar belum seselektif metode para maling. Dan keberanian kita, belum sehebat maling dalam mengambil resiko.

Maling, jika sudah berniat, akan melakukan apa saja untuk memuluskan rencananya. Jika harta yang diincar di tengah rumah terkunci, maling akan menyongkel jendela. Jika jendela dilapisi tralis, ia akan menjebol tralisnya. Jika tralis besinya kuat, ia akan mencongkel pintu. Jika pintu bertralis, ia akan memilih memasuki melalui atap. Jika langit-langit dicor, ia akan menjebol tembok. Jika tembok berlapis beton, maling bahkan bakal menggali terowongan menembus rumah dari bawah. Jika di cor juga, ia akan menggunakan teknik lain, hipnotis pemilik rumahnya, menipu pemilik kuncinya, atau membunuhnya sekalian.

Jika sudah niat mencuri barang sangat berharga, niat maling seperti tak tergoyahkan. Niat juga dibarengi metode. Metode disesuaikan dengan kondisi lapangan. Maling akan survei dan menghitung berbabagai kemungkinan. Lalu beraksi. Jika ada resiko, maling akan mengambil resiko itu. Semakin canggih metodenya, semakin kecil resiko.

Begitulah maling. Lebih jago di niat, metode dan ambil resiko. Sekarang bandingkan dengan guru. Niat guru mengajar lebih sering teralihkan oleh kepamrihan. Terlalu murah jika dihadapkan pada honor. Nyaris metode yang digunakan untuk mengajar tak berubah. Bahkan metode untuk mendekati siswa yang bermasalah saja keliru. Misalnya ada siswa yang bandel, guru kerap memarahinya. Bukan mendekatinya, lalu menjadi temannya. Pada akhirnya menjadi teman siswanya. Itu jelas keliru metode.

Tentu saja ini berarti juga buat yang lain. Ustadz atau penceramah kerap berdakwah di mesjid. Padahal, penyakit sosial yang hendak diselesaikan adalah misalnya pelacuran, perjudian, kemalasan. Berdakwah di mesjid tentu tak relevan untuk memperbaiki umat manakala sasarannya sebetulnya tak tersentuh.  

Belum lagi, resiko yang diambil guru atau ustadz tak sebesar yang diambil maling. Maling, dalam kondisi tertentu mau bersabar, mau menantang arus, mau menguji metode, mau menyelinap agar tak sampai ketahuan. Maling hebat, tak pernah tertangkap dan tak menunjukan prestasinya pada orang lain. Maling yang tertangkap adalah maling yang gegabah.

Saya sendiri berkesimpulan dalam hal ini harus, mau tak mau, belajar pada maling. Bukan menjadi maling, tetapi lebih pada menjalankan niat, metode dan mau berikhtiar sekalipun mengambil resiko yang besar. Ketimbang harus belajar pada ormas atau geng yang menebar kebencian. Atau belajar pada guru, ustadz, atau kalangan berstatus lain yang nyata-nyata salah kaprah dalam menjalankan metode.

Waktu yang dedikasikan seharusnya bukan untuk melayani yang sudah beres. Waktu para pendidik seharusnya habis di tengah diskotik, tempat judi, di tempat-tempat lain yang dianggap "hina" oleh masyarakat. Dengan cara seperti itulah, dakwah benar-benar bisa dijalankan. Semoga masyarakat bisa berubah menjadi lebih baik.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »