Sekolah Berkarakter

Belakangan, wacana yang menjadi genit di tengah guru dan pengelola pendidikan adalah pendidikan berkarakter. Hampir semua hal dikait-kaitkan. Alasannya, tak kurang dari 18 indikator yang berkaitan : religius, jujur, toleransi, disiplin kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cibta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggungjawab.

Karena banyaknya indikator dan ragam tafsir; pada akhirnya istilah ini bias dalam konsep dan praktek.

Genit, karena bisa membenarkan segala tindakan sebagai bagian pendidikan berkarakter. Misalnya, dengan membuat kantin jujur atau kantin kejujuran. Hanya dengan bertahan satu dua minggu dianggap telah memenuhi kompetensi. Walaupun ujungnya kantin itu bubar. Jika dengan kantin kejujuran itu menjadi faktor pembentuk karakter, kenapa bubar atau dibentuk lalu dibiarkan bubar. Jangan-jangan prilaku pembiarannya yang sudah menjadi karakter.

Atau, nah yang ini menarik. Balitbang Kemendiknas meletakan gemar membaca menjadi indikator. Akan tetapi, membaca sebagai sebuah pemandangan saja tak pernah tampak di lingkungan sekolah. Pendidik dan tenaga kependidikan seperti tak sempat membaca. Apa ini? Tentu saja karakter. Karakter malas membaca. Lebih santunnya lagi, pendidik dan pengelola yang sedang mengajarkan karakter malas baca.

Seperti menyudutkan, padahal bukan. Tentu tidak semua pendidik atau tenaga pendidika n semalas itu. Banyak yang menjadi teladan. Akan tetapi karena bukan sesuatu yang perlu disombongkan, maka prilaku berkarakter itu tersembunyi. Terlebih tak pernah ada baik dari pemerintah maupun sekolah menunjukan "bukti" keteladanan.

Jadi siapa yang harus lebih dulu berkarakter dalam ruang pendidikan kita? Tentu saja sekolah. Sekolah mestinya mau menunjukan diri pada publik bahwa dalam layanannya sekolah menunjukan pendidikan berkarakter.

Jika istilah pendidikan berkarakter adalah konsep tentang pikiran, sikap dan prilaku yang mendorong pribadi manusia unggul, maka sekolah adalah tempat diejawantahkannya konsep itu. Indikator karakter, mesti didisplay atau dipertontonkan sebagai sebuah teladan. Ini bukan wilayah ria atau pamer, ini persoalan berani atau tidak menyatakan karakter keteladanan.

Lalu, jika sekolah adalah bagian tak terpisahkan dari institusi besar bernama pemerintah, mau atau tidak, tiap SKPD atau kantor layanan mestinya menunjukan karakternya. Termasuk kantor bupati atau walikotanya.

Tunjukan bahwa pemangku warga, lebih mampu dan mau menunjukan karakter. Menunjukan karakternya dalam layanan, dalam program, dalam penganggaran dan tentu saja dalam dekorasi kantor. 

Belajarlah dari anak TK yang akan menggambar atau bercerita dari pengalaman yang dilihatnya, bukan yang dibicarakan orang di sekitarnya.

Dengan begitu, pendidikan berkarakter melalui sekolah berkarakter untuk bangsa berkarakter bukan hanya dalam wacana dan khayal apalagi membuat manusia jadi genit.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »