Calo di Tanah Perbatasan

Pernah mendengar calo? Atau mengenal calo? Tindakan satu ini disebut profesi, khususnya di Negara yang belum memiliki sistem adiministrasi yang rapi.

Di negeri ini, banyak orang yang menilai calo. Apakah tindakan mereka baik atau tidak, benar atau malah salah? Saya pun ikut menilainya. Secara subjektif, calo tindakan yang merugikan. Terutama calo di perbatasan.

Berikut pengalaman saya di tanah Motaain, daerah paling ujung yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Selama 23 tahun, daerah ini tidak terlalu penting. Tidak ada perkantoran yang lain selain kantor camat, kantor desa, kantor sekolah, layaknya daerah lain. Tetapi sejak tahun 2003, ketika Timor Timur lepas dari NKRI dan mengubah namanya menjadi Timor Leste, Motaain dilengkapi dengan kantor imigrasi. Pengisi kantornya dinamakan pegawai imigrasi. Mereka bukan calo keturunan, melainkan membela calo sekaligus menyalo.

Jika imigran atau WNI yang mau melintasi perbatasan harus diperiksa dan didaftarkan, maka dengan calo, semuanya jadi sekedar formalitas dan mudah. Bayarannya berkisar antara 5 sampai 10 dolar Amerika. Jika tidak menggunakan calo, pegawai imigrasi akan memberlakukan hukum aneh dengan menerapkan pungutan dengan dalih “di luar provinsi Kupang, masing-masing orang dikenakan 100 ribu rupiah”.

Hukum itu berlaku dan saya sempat merasakan hukum aneh itu. Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang hendak ke luar negeri, selain paspor dengan biaya adiministrasi 255 ribu rupiah, visa 30 Dolar bagi kelas I, ditambah pula uang pungutan dengan legitimasi hukum palsu. Kenapa palsu, karena tidak ada undang-undang, perpu, atau semacamnya yang mengatur pungutan itu.

Tetapi apa yang merugikan selanjutnya? Selain uang, tentu saja, perlakuan tidak enak dari para pegawai imigrasi dan sekaligus para calo. Saya tidak bermaksud menyamakan profesi mereka, tetapi keduanya melakukan praktek percaloan.

Jika diidentifikasi, calo-calo ini penduduk Motaain. Hanya bisa dikenali dari bahasanya yang begitu umum sepanjang daerah kupang. Dari Kota Kupang, So’e, Kefa, Atambua hingga Motaain. Rata-rata mereka yang mencalo berusia remaja, dan beberapa orang yang sudah tak muda lagi. Seberani itukah mereka? Oh, tentu saja. Beckingan tentara begitu kentara, dari mulai persekongkolan TNI Angkatan Darat yang sudah layak disebut oknum tentara hingga preman setempat. Kenapa oknum? Karena hanya mereka yang menggunakan seragam dengan aksesoris kalung, bak preman jua.

Masyarakat disana mungkin saja sudah biasa melihatnya. Walaupun saya yakin, diantara mereka ada yang tidak suka dan menganggapnya tindakan yang salah. Tetapi sejak 20 Mei 2002, mereka sudah melumrahkannya sebagai budaya.

Menyalahkan? Bukan. Jika ditelusuri musababnya, saya menyangka kemiskinanlah yang membuat remaja dan beberapa orang dewasa di sana turun dan turut mencalo. Dan kalau sudah bicara kemiskinan sebagai penyebab segala perkara ini, jelas sekali pemerintahlah yang bertanggungjawab. Konstitusi menyebutnya begitu.

Tanah perbatasan pun, dengan keberadaan calo dan pegawai imigrasi yang mencalokan diri, pada akhirnya menjadi daerah yang menakutkan. Padahal saya, atau mungkin kita, mengehendaki tanah perbatasan kita menjadi teras bangsa yang nyaman. Teras yang bakal mengingatkan warga luar tentang Indonesia, dan mengingatkan warga Negara Indonesia pada negerinya yang nyaman.

Instansi yang bertanggungjawab, berwenang mewujudkan harapan ini. Mudah-mudahan, selain kantor imigrasi Motaain, semua kantor Imigrasi, dan sekalian semua kantor, termasuk Polres (yang juga menyimpan calo SIM) siap melayani warganya tanpa ada calo lagi di kemudian hari.

Timor Leste

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »