Cipratan Hikmah Para Pembelajar


Cukup berbahagialah mereka yang kebetulan lahir di tengah keluarga berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, atau organisasi Islam lainnya. Saya hanya menyebut keduanya bukan berarti melupakan yang lain. Ini hanya persoalan waktu, kali ini kebetulan saja kedua organisasi itu yang saya ingin sentil. Terutama terkait beberapa cerita menarik di balik para pendirinya.

Cerita ini tidak baru, hanya memang perlu diulang. Saya kira banyak hikmah yang tak akan habis.

Ini tentang KH. Hasyim Asy'ary, pendiri NU. saat muda, beliau begitu tekun mempelajari ilmu-ilmu khususnya ilmu Islam. Pada awal abad 20, buku atau kitab masih menjadi sumber informasi sekaligus media belajar utama. Untuk mempelajari kitab klasik, memang tidak mudah. Selain karena berbahasa arab, "kitab kuning" julukan kitab tentang ilmu Islam ini juga "gundul", tidak dilengkapi tanda baca yang lengkap. Karena itu, perlu banyak waktu dan upaya ekstra untuk mempelajarinya.

Di tengah masyarakat yang tidak memiliki sejarah baca atau budaya baca, kegiatan membaca kitab memang langka. Tetapi yang dilakukan KH Hasyim lebih langka lagi. Membaca baginya bukan hanya siang hari tatkala cahaya cukup untuk membaca, malam hari dikala gelap dan orang lain tertidur, beliau sering membaca buku. Ditemani cempor, beliau melakukan ritual bacanya hingga larut. Agar tidak mengantuk, beliau sengaja mencari kolam yang ditengahnya terdapat "galengan". Sekali saja mengantuk, Ia beserta bukunya bisa tercebur. Karena takut kecebur, maka timbul sikap waspada. Kantukpun hilang.

Maka jika beliau menjadi ulama pandai dan cerdas, melalui cerita itu kita bisa tengok "penyebabnya": ulet, kreatif terbaur dalam upayanya mencari ilmu pengetahuan.

Coba kita simak cerita berikutnya tentang KH Ahmad Dahlan. Satu dari sekian kisah uniknya saat mendalami ilmu pengetahuan, patut diceritakan ulang, terutama saat dia mengajari murid-muridnya dengan media pembelajaran yang kala itu baru, biola. Alat musik yang belum juga lumrah di kalangan masyarakat Islam saat itu ia sulap menjadi alat pembelajaran, terutama ilmu estetika.

Belajar estetika dalam Islam sudah dimulai belasan abad, hanya lain cara lain alat. KH Ahmad Dahlan kembali melakukan eksperimentasi dengan penggunaan biola ini. Sangat baru, aneh, bid'ah, bahkan kala itu banyak ulama yang menilai kafir. tapi begitulah sejarah berkisah, KH Ahmad Dahlan tetap konsisten dan mendidik orang Islam (khususnya) agar hidup lebih terbuka, modern dan tentu saja semuanya demi mempelajari ilmu pengetahuan.

Kedua cerita tadi semata menjadi kisah teladan para tokoh pendahulu. Bukan layak diceritakan karena organisasinya yang memang besar, lebih karena spirit yang selalu menyertai mereka terhadap ilmu pengetahuan. Hingga kemudian menuntunnya jadi orang besar.

Bagi para jemaah organisasi keduanya, boleh jadi cerita ini mengingatkan kembali tentang pentingnya pencarian ilmu pengetahuan yang dibarengi kesungguhan, terutama untuk para pelajar muda. Biar nanti, dalam diskusi dan dalam mengabdi kepada masyarakat, yang menjadi "senjata" pencerdasan adalah ilmu pengetahuan. Bukan karena harta, infrastruktur megah, massa yang berlimpah, apalagi hanya banyak bicara tanpa pesan apa-apa.

Ai Nurhidayat
Pegiat Komunitas Pelajar

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »