Ai Nurhidayat |
Menyentuh
Puncak Belender
Perlahan tapi pasti,
peristiwa demi peristiwa tersampaikan. Kisah kerusakan lingkungan menempati
urutan teratas sebagai peristiwa yang menakutkan. Kini, terdengar sudah berita
tentang hutan yang semakin berkurang, pencemaran lingkungan, polusi udara,
serta banyak lagi kabar tentang alam yang semakin krisis. Semuanya senada dengan
isu global warming.
Di sekitar kita,
utamanya di wilayah Kabupaten Pangandaran, kerusakan alam mulai menjadi momok
menakutkan. Belakangan tersiar kabar tentang penambangan pasir besi yang
meresahkan. Penebangan hutan lindung serta pembalakan liar juga ikut
meresahkan. Para petani banyak yang khawatir dengan begitu drastisnya perubahan
iklim, ditambah semakin sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak orang
ikut tersulut amarah, terutama karena gossip yang melibatkan Serikat Petani
Pasundan (SPP).
Organisasi tersebut
sering menjadi kambing hitam atas kerusakan di sejumlah hutan. Konon, para
petani yang terlibat diorganisir untuk menebang sejumlah hutan dengan istilah reklaiming.
Saking intensifnya berita pembalakan hutan itu, tak sedikit yang menganggap
bahwa kekeringan bermula dari ulah para petani. SPP, sekali lagi menjadi
kambing hitam.
Di Belender, sebuah
kawasan hutan yang terletak di desa Kersaratu kecamatan Sidamulih kabupaten
Pangandaran, isu reklaiming menjadi bahan obrolan. Hutan yang tadinya
terbentang, perlahan dialihfungsikan oleh sejumlah orang. Mereka kemudian
menanam pohon kopi sebagai sumber komoditas. Telinga banyak orang yang mendengar
kabar demikian semakin panas.
Begitu pula dengan
kami. Sejumlah pelajar, mahasiswa, pemuda yang berkumpul dalam wadah komunitas
belajar Sabalad merasakan kekhawatiran akan kondisi alam di Belender yang
dikabarkan semakin tak jelas. Hanya dengan spirit kepedulian serta rasa ingin
tahu, pada tanggal 16-17 Februari 2013 komunitas memutuskan untuk melakukan
observasi langsung melalui kegiatan kemping di puncak Belender.
Acara ini diikuti 25
orang anggota komunitas belajar Sabalad. Di luar program taman baca, bimbingan
belajar, diskusi ilmiah, literasi media, kegiatan observasi lingkungan menjadi
salah satu program utama. Para observer berangkat dini hari dari saung diklat
Sabalad di wilayah Parigi. Kemudian konvoi hingga titik pertama. Perjalanan
berikutnya ditempuh dengan berjalan kaki mendaki puncak belender. Kami belum
begitu mengerti berapa ketinggian puncak Belender sesungguhnya. Yang jelas,
perjalanan melewati rute menanjak hingga 85 derajat. Kami tiba setelah melewati
4 jam perjalanan.
Sepanjang perjalanan,
kami disuguhkan pemandangan yang tak biasa. Awalnya, perkampungan layaknya di
kampung kami. Selanjutnya kami melewati hutan lindung yang sebagian sudah
ditanami pohon kapol oleh warga setempat. Setelah itu, sampai di salah satu
bukit Belender yang sedah ditanami pohon kopi. Pemandangan alam yang dibatsi
eloknya pantai Pangandaran, hingga Batu Karas begitu menyita perhatian. Di
puncak itu, hutan sudah mulai tandus, dan pohon-pohon besar tak kelihatan lagi.
Perjalanan
berikutnya melewati beberapa rumah milik warga. Kebanyakan dari mereka adalah
anggota SPP. Kami melihat bendera SPP di tiap rumah. Sambil disuguhkan
pemandangan alam yang agak berbeda, kami memasang tenda di puncak Belender.
Setelah itu, kami melaksanakan agenda utama kami, observasi.
Beberapa orang
ditugaskan sebagai pencari fakta melalui wawancara langsung dengan para warga.
Warga yang juga sebagai petani di Belender begitu terbuka. Mereka tak segan
bercerita apa adanya, bahkan rela membagi waktu bersama saat kami mengadakan
acara ramah tamah di sekeliling api unggun. Peserta lain, mencatat dan bersiap
mementaskan performing art. Kebetulan terdapat anak keturunan para petani yang
sedia kami ajak untuk nonton peserta yang berunjuk gigi.
Tanpa diduga,
ternyata banyak hal yang kami peroleh saat acara itu berlangsung. Uraian Pak
Tomi, seorang petani di sana, menjelaskan asal-usul Belender. Menurutnya,
Belender adalah perkampungan adat yang karena peristiwa politik tahun 1940an,
tanah itu dikosongkan. Kemudian Perum Perhutani mengambil alih hutan adat itu
menjadi wilayah Perum dan menanaminya. Kemudian, setelah reformasi, warga
Belender kembali memperjuangkan tanahnya melalui aksi reclaiming hutan adat
mereka.
Pak Tomi dengan apik
menunjukan batas-batas antara hutan adat, hutan lindung, pangangonan, hutan
perum dan sejumlah tanah yang menjadi hak guna oleh perusahaan/perorangan.
Bahkan dia menunjukan bukti-bukti fisik yang menguatkan Blender sebagai hutan
adat, diantaranya terdapat kuburan (astana) dan pohon-pohon yang pernah ditanam
warga layaknya di kampung-kampung.
Pada akhirnya,
dengan penuturan warga Belender, kami semua dapat informasi lain yang berbeda
dengan gossip yang selama ini menyebar di masyarakat. Pembalakan liar,
pelenyapan hutan lindung yang menjadi sumber air, hingga dongeng kebrutalan
petani SPP, tersanggah sudah. Malah sebaliknya, kami menemukan sebuah cerita
yang tersimpan di balik puncak Belender: perjuangan 16 keluarga meraih
penghidupan dengan jalan yang legal, tetap hormat pada alam, dan tentu saja
ramah pada setiap orang.
Menyentuh puncak
Belender kami melihat realitas dari dekat lalu mencoba bersatu dengan
lingkungan. Setelah itu kami ikut mengabarkan.
Komunitas
Belajar Sabalad