Mengaduk “Zaman” Mie Instan

Mengaduk “Zaman” Mie Instan
Narasi besar peradaban manusia selalu tidak tegas dalam menggambarkan taste makanan. Ritus-ritus yang mencerminkan jayanya sebuah peradaban hanya menunjukan siapa yang berkuasa, periodesasi dan jangkauan daerahnya. Sebut contoh kerajaan Sriwijaya. Selalu hadir sisa-sisa peninggalan kejayaan Sriwijaya seperti Borobudur (sebagian) jejak peninggalan kerajaan di Palembang, serta kuil fenomenal yang sampai sekarang dilestarikan oleh pemerintahan Thailand. Sementara, selera masak Sriwijaya tidak “hadir”. Disinilah, muncul dugaan, apakah makanan tidak tampak penting dalam peradaban, atau memang terlupakan.

Walau begitu, asumsi di awal tadi tidaklah benar seluruhnya.Beberapa peninggalan peradaban masalalu masih terpelihara.Satu diantaranya Mie, peninggalan agung yang terwariskan dari zaman ke zaman.Mie sendiri berasal dari Cina (4000 tahun yang lalu).

Keluarbiasaan para koki dalam memelihara dan mengembangkan mie sebagai sebuah makanan penting manusia jarang diapresiasi. Mie juga dipandang hanya sebagai produk yang itu-itu saja dan nampan statis. Tetapi dalam makalah ini, saya tidak bermaksud menelusuri mie dan keberadaanya, melainkan fenomena mie sebagai makanan yang telah hadir lama di Indonesia sebagai sebuah makanan sampingan dengan label mie instan.

...

Di sebuah warung Bubur kacang ijo (burjo), keberadaan mie instan malah lebih dominan daripada bubur. Baik itu sebagai makanan pembuka (sarapan), makanan pengganti makan siang, hingga menjadi menu dinner. Di luar rutinitas itu, mie instan sebagai jajanan laku di Burjo dianggap sebagai sebuah makan utama burjo, mengalahkan Burjo itu sendiri. Lantas apa yang menyebabkan itu terjadi?

Mie kini sebagai produk industri.Memiliki karakteristik pembuatan yaitu melibatkan perangkat modern, pengelolaan perusahaan juga modern, dan penyajian yang modern.Darimana lagi kalo tidak melihat dari kemudahan dalam menyajikannya.Jenis seperti ini disebut mie instan.Mie benar-benar instan, efisien (dengan harga jual yang lebih murah ketibang masakan lain), serta kemudahan akses mengonsumsi.

Terkait dengan fenomena mie instan khususnya di Indonesia, bakal ditemukan beberapa produk raksasa untuk makan yang lebih mirip lapisan kawat ini. Sebut saja Indomie, Mie Sedap serta beberapa mie yang kurang popular atau malah sudah terakuisisi, seperti Salami, Supermie dan mie ABC Medas yang kurang popular. Berbagai produk diatas terbagi lagi kedalam beberapa pilihan sajian.Ada mie kuah, mie goring, mie soto, mie koya dan seterusnya.Produk mie instan lainnya dipakai untuk bahan osengan.Ada lagi, yang menjadi mie instan siap saji dengan merk raksasa Popmie.

Mie instan sebagai sebuah produk industri menjadi begitu mudah masuk dalam benak khalayak melalui terpaan media yang terus-menerus (continuous) dan berulang-ulang (repetition).Cara kerja masuknya mie instan sebagai bagian dari pengarusutamaan bahasa. Dalam hal ini, bahasa yang diarusutamakan adalah tag line, jargon hingga bunyi-bunyi otentik dan mewakili produk. Mie instan yang diciptakan seorang warga Jepang Momofuku Ondo ini, tiba-tiba menjadi sarapan yang booming dan menjadi akrab di telinga khalayak.

Jika menurut Roland Barthes kata bisa memiliki makna denotasi sekaligus makna konotasi, maka mie di Indonesia, khususnya di warung Burjo adalah mie instan.Telah terjadi penyempitan makna secara linguistik.Mie maknanya terbatas, tetapi dalam terbatasnya makna mie, mie instan bisa dominan di warung Burjo.Itu karena warung Burjo menjadi tempat penyajian yang tak kalah cepat dan tak kalah murah.Relasi seperti itu bakal muncul dalam pembicaraan soal mie instan, atau Burjo.Dalam konteks khusus, seorang yang menginginkan jajan mie, itu berarti yang dimaksud adalah mie instan bukan spagetti atau mie ayam. Lebih lagi, dia akan mengarah ke warung Burjo. Konteks warung Burjo hanya berlaku di Jabodetabek.

Walau begitu, mie instan juga memiliki arti lain dibalik proses pembuatannya yang instan.Makna dari mie instan cukup terasosiasi kepada produk industri seperti yang dimaksud sebelumnya.Tetapi ketika kata mie instan dipakai, serentetan makna susulan, atau makna yang tertunda muncul.

Dalam konsep Jacues Derrida, konsep itu disebut dekonstruksi makna. Ada makna lain yang “hadir” dalam ucapan mie instan. Makna lain itu adalah “racun”. Bahkan ada makna “kembung” dan “penyakit”.Makna yang menjadi penumpang gelap dalam mie instan itu menunjukan relasi yang cukup kuat kenapa mie instan selalu menjadi makanan sampingan.Walaupun mungkin di Indonesia inilah makanan yang paling popular setelah beras.

Tak cukup sampai disitu saja, ragam makna yang cenderung “merendahkan” status para pemakan mie juga kerap muncl.Misalnya identiknya antara mie instan dan mahasiswa (yang sedang berhemat), mie instan dengan “kalangan bawah” dari status sosial.Kadang penulis sendiri menganggapnya makanan “sederhana” saja.Andai, tiga puluh tahun silam kakek di kampong tahu, mie instan bisa jadi makanan yang sangat “mewah”.

Sangat mungkin munculanggapan bahwa pemakan mie instan adalah mereka yang tidak sehat.Senyatanya memang mie instan memang tidak sehat.

Dalam membaca mie instan, pertautan antar makna tidak pernah berhenti.Selalu muncul makna baru atau makna yang meloncat darinya.Dari segi tampilan penyajiannya, mie instan terkesan lebih “provokatif” dengan menyertakan telor atau paha ayam di atas hidangannya.Dilengkapi dengan dedaunan hijau.Indeks yang menunjukan ada “rasa” di atas hidangan mie.Padahal, dalam kemasan samasekali tidak pernah tersedia telor, apalagi paha.



Menikmati hidangan mie instan di warung Burjo paling tidak menunjuk sebagian taste makanan dari zaman sekarang. Kesimpulan yang terlampau simplistis jika mie instan mewakili zaman, sebut saja abad, kini. Namun rupanya, upaya simplitisasi itu dibutuhkan paling tidak untuk menunjuk pada makanan yang diamini sebagian besar manusia.Tentu saja yang sudak tidak otonom lagi dalam melahap pangan. Disadari atau tidak, dibelakang minat masyarakat terkait mie instan, terselip pertanda lain. Pertanda yang menunjukan alam yang serba instan.Mie instan mewakili gejala kebudayaan yang juga semakin mengarah pada hal-hal yang instan. Dalam Derrida, gejala ini juga berarti makna lain yang tidak disebut, misalnya “kemalasan” yang menghinggapi manusia sezaman. Pada akhirnya, zaman katalida yaitu zaman dimana akal sehat dianggap gila, bakal benar dan terjadi melalui tradisi instan seperti halnya mie instan.

Mie instan sebagai gejala, sebagai bagian dari dinamika peradaban mau tidak mau statusnya harus dinaikan menjadi “ritus” peradaban. Terutama yang mewakili budaya instan. Penghargaan terhadap mie instan adalah pertanda adanya keinsyafan akan fenomena sosial terkini, dan siapa tahu menjadi pertanda zaman bagi para pelaku zaman periode berikutnya.

Jika peradaban pada abad-abad yang lalu hanya terfokus pada kekuasaan (politik), luas wilayah dan periode waktu, kini saatnya melihat makanan sebagai sebuah elemen peradaban yang bisa membaca peerspektif dan prilaku masyarakat. Karenanyalah, segala kuasa bisa terbaca.