Menyentuh Puncak Belender


Menyentuh Puncak Belender

Perlahan tapi pasti, peristiwa demi peristiwa tersampaikan. Kisah kerusakan lingkungan menempati urutan teratas sebagai peristiwa yang menakutkan. Kini, terdengar sudah berita tentang hutan yang semakin berkurang, pencemaran lingkungan, polusi udara, serta banyak lagi kabar tentang alam yang semakin krisis. Semuanya senada dengan isu global warming.

Di sekitar kita, utamanya di wilayah Kabupaten Pangandaran, kerusakan alam mulai menjadi momok menakutkan. Belakangan tersiar kabar tentang penambangan pasir besi yang meresahkan. Penebangan hutan lindung serta pembalakan liar juga ikut meresahkan. Para petani banyak yang khawatir dengan begitu drastisnya perubahan iklim, ditambah semakin sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak orang ikut tersulut amarah, terutama karena gossip yang melibatkan Serikat Petani Pasundan (SPP).

Organisasi tersebut sering menjadi kambing hitam atas kerusakan di sejumlah hutan. Konon, para petani yang terlibat diorganisir untuk menebang sejumlah hutan dengan istilah reklaiming. Saking intensifnya berita pembalakan hutan itu, tak sedikit yang menganggap bahwa kekeringan bermula dari ulah para petani. SPP, sekali lagi menjadi kambing hitam.

Di Belender, sebuah kawasan hutan yang terletak di desa Kersaratu kecamatan Sidamulih kabupaten Pangandaran, isu reklaiming menjadi bahan obrolan. Hutan yang tadinya terbentang, perlahan dialihfungsikan oleh sejumlah orang. Mereka kemudian menanam pohon kopi sebagai sumber komoditas. Telinga banyak orang yang mendengar kabar demikian semakin panas.

Begitu pula dengan kami. Sejumlah pelajar, mahasiswa, pemuda yang berkumpul dalam wadah komunitas belajar Sabalad merasakan kekhawatiran akan kondisi alam di Belender yang dikabarkan semakin tak jelas. Hanya dengan spirit kepedulian serta rasa ingin tahu, pada tanggal 16-17 Februari 2013 komunitas memutuskan untuk melakukan observasi langsung melalui kegiatan kemping di puncak Belender.

Acara ini diikuti 25 orang anggota komunitas belajar Sabalad. Di luar program taman baca, bimbingan belajar, diskusi ilmiah, literasi media, kegiatan observasi lingkungan menjadi salah satu program utama. Para observer berangkat dini hari dari saung diklat Sabalad di wilayah Parigi. Kemudian konvoi hingga titik pertama. Perjalanan berikutnya ditempuh dengan berjalan kaki mendaki puncak belender. Kami belum begitu mengerti berapa ketinggian puncak Belender sesungguhnya. Yang jelas, perjalanan melewati rute menanjak hingga 85 derajat. Kami tiba setelah melewati 4 jam perjalanan.

Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan pemandangan yang tak biasa. Awalnya, perkampungan layaknya di kampung kami. Selanjutnya kami melewati hutan lindung yang sebagian sudah ditanami pohon kapol oleh warga setempat. Setelah itu, sampai di salah satu bukit Belender yang sedah ditanami pohon kopi. Pemandangan alam yang dibatsi eloknya pantai Pangandaran, hingga Batu Karas begitu menyita perhatian. Di puncak itu, hutan sudah mulai tandus, dan pohon-pohon besar tak kelihatan lagi.

Perjalanan berikutnya melewati beberapa rumah milik warga. Kebanyakan dari mereka adalah anggota SPP. Kami melihat bendera SPP di tiap rumah. Sambil disuguhkan pemandangan alam yang agak berbeda, kami memasang tenda di puncak Belender. Setelah itu, kami melaksanakan agenda utama kami, observasi.

Beberapa orang ditugaskan sebagai pencari fakta melalui wawancara langsung dengan para warga. Warga yang juga sebagai petani di Belender begitu terbuka. Mereka tak segan bercerita apa adanya, bahkan rela membagi waktu bersama saat kami mengadakan acara ramah tamah di sekeliling api unggun. Peserta lain, mencatat dan bersiap mementaskan performing art. Kebetulan terdapat anak keturunan para petani yang sedia kami ajak untuk nonton peserta yang berunjuk gigi.

Tanpa diduga, ternyata banyak hal yang kami peroleh saat acara itu berlangsung. Uraian Pak Tomi, seorang petani di sana, menjelaskan asal-usul Belender. Menurutnya, Belender adalah perkampungan adat yang karena peristiwa politik tahun 1940an, tanah itu dikosongkan. Kemudian Perum Perhutani mengambil alih hutan adat itu menjadi wilayah Perum dan menanaminya. Kemudian, setelah reformasi, warga Belender kembali memperjuangkan tanahnya melalui aksi reclaiming hutan adat mereka.

Pak Tomi dengan apik menunjukan batas-batas antara hutan adat, hutan lindung, pangangonan, hutan perum dan sejumlah tanah yang menjadi hak guna oleh perusahaan/perorangan. Bahkan dia menunjukan bukti-bukti fisik yang menguatkan Blender sebagai hutan adat, diantaranya terdapat kuburan (astana) dan pohon-pohon yang pernah ditanam warga layaknya di kampung-kampung.

Pada akhirnya, dengan penuturan warga Belender, kami semua dapat informasi lain yang berbeda dengan gossip yang selama ini menyebar di masyarakat. Pembalakan liar, pelenyapan hutan lindung yang menjadi sumber air, hingga dongeng kebrutalan petani SPP, tersanggah sudah. Malah sebaliknya, kami menemukan sebuah cerita yang tersimpan di balik puncak Belender: perjuangan 16 keluarga meraih penghidupan dengan jalan yang legal, tetap hormat pada alam, dan tentu saja ramah pada setiap orang.

Menyentuh puncak Belender kami melihat realitas dari dekat lalu mencoba bersatu dengan lingkungan. Setelah itu kami ikut mengabarkan.
Komunitas Belajar Sabalad



Menyentuh Puncak Belender

Menyentuh Puncak Belender

Menyentuh Puncak Belender

Perlahan tapi pasti, peristiwa demi peristiwa tersampaikan. Kisah kerusakan lingkungan menempati urutan teratas sebagai peristiwa yang menakutkan. Kini, terdengar sudah berita tentang hutan yang semakin berkurang, pencemaran lingkungan, polusi udara, serta banyak lagi kabar tentang alam yang semakin krisis. Semuanya senada dengan isu global warming.

Di sekitar kita, utamanya di wilayah Kabupaten Pangandaran, kerusakan alam mulai menjadi momok menakutkan. Belakangan tersiar kabar tentang penambangan pasir besi yang meresahkan. Penebangan hutan lindung serta pembalakan liar juga ikut meresahkan. Para petani banyak yang khawatir dengan begitu drastisnya perubahan iklim, ditambah semakin sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak orang ikut tersulut amarah, terutama karena gossip yang melibatkan Serikat Petani Pasundan (SPP).

Organisasi tersebut sering menjadi kambing hitam atas kerusakan di sejumlah hutan. Konon, para petani yang terlibat diorganisir untuk menebang sejumlah hutan dengan istilah reklaiming. Saking intensifnya berita pembalakan hutan itu, tak sedikit yang menganggap bahwa kekeringan bermula dari ulah para petani. SPP, sekali lagi menjadi kambing hitam.

Di Belender, sebuah kawasan hutan yang terletak di desa Kersaratu kecamatan Sidamulih kabupaten Pangandaran, isu reklaiming menjadi bahan obrolan. Hutan yang tadinya terbentang, perlahan dialihfungsikan oleh sejumlah orang. Mereka kemudian menanam pohon kopi sebagai sumber komoditas. Telinga banyak orang yang mendengar kabar demikian semakin panas.

Begitu pula dengan kami. Sejumlah pelajar, mahasiswa, pemuda yang berkumpul dalam wadah komunitas belajar Sabalad merasakan kekhawatiran akan kondisi alam di Belender yang dikabarkan semakin tak jelas. Hanya dengan spirit kepedulian serta rasa ingin tahu, pada tanggal 16-17 Februari 2013 komunitas memutuskan untuk melakukan observasi langsung melalui kegiatan kemping di puncak Belender.

Acara ini diikuti 25 orang anggota komunitas belajar Sabalad. Di luar program taman baca, bimbingan belajar, diskusi ilmiah, literasi media, kegiatan observasi lingkungan menjadi salah satu program utama. Para observer berangkat dini hari dari saung diklat Sabalad di wilayah Parigi. Kemudian konvoi hingga titik pertama. Perjalanan berikutnya ditempuh dengan berjalan kaki mendaki puncak belender. Kami belum begitu mengerti berapa ketinggian puncak Belender sesungguhnya. Yang jelas, perjalanan melewati rute menanjak hingga 85 derajat. Kami tiba setelah melewati 4 jam perjalanan.

Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan pemandangan yang tak biasa. Awalnya, perkampungan layaknya di kampung kami. Selanjutnya kami melewati hutan lindung yang sebagian sudah ditanami pohon kapol oleh warga setempat. Setelah itu, sampai di salah satu bukit Belender yang sedah ditanami pohon kopi. Pemandangan alam yang dibatsi eloknya pantai Pangandaran, hingga Batu Karas begitu menyita perhatian. Di puncak itu, hutan sudah mulai tandus, dan pohon-pohon besar tak kelihatan lagi.

Perjalanan berikutnya melewati beberapa rumah milik warga. Kebanyakan dari mereka adalah anggota SPP. Kami melihat bendera SPP di tiap rumah. Sambil disuguhkan pemandangan alam yang agak berbeda, kami memasang tenda di puncak Belender. Setelah itu, kami melaksanakan agenda utama kami, observasi.

Beberapa orang ditugaskan sebagai pencari fakta melalui wawancara langsung dengan para warga. Warga yang juga sebagai petani di Belender begitu terbuka. Mereka tak segan bercerita apa adanya, bahkan rela membagi waktu bersama saat kami mengadakan acara ramah tamah di sekeliling api unggun. Peserta lain, mencatat dan bersiap mementaskan performing art. Kebetulan terdapat anak keturunan para petani yang sedia kami ajak untuk nonton peserta yang berunjuk gigi.

Tanpa diduga, ternyata banyak hal yang kami peroleh saat acara itu berlangsung. Uraian Pak Tomi, seorang petani di sana, menjelaskan asal-usul Belender. Menurutnya, Belender adalah perkampungan adat yang karena peristiwa politik tahun 1940an, tanah itu dikosongkan. Kemudian Perum Perhutani mengambil alih hutan adat itu menjadi wilayah Perum dan menanaminya. Kemudian, setelah reformasi, warga Belender kembali memperjuangkan tanahnya melalui aksi reclaiming hutan adat mereka.

Pak Tomi dengan apik menunjukan batas-batas antara hutan adat, hutan lindung, pangangonan, hutan perum dan sejumlah tanah yang menjadi hak guna oleh perusahaan/perorangan. Bahkan dia menunjukan bukti-bukti fisik yang menguatkan Blender sebagai hutan adat, diantaranya terdapat kuburan (astana) dan pohon-pohon yang pernah ditanam warga layaknya di kampung-kampung.

Pada akhirnya, dengan penuturan warga Belender, kami semua dapat informasi lain yang berbeda dengan gossip yang selama ini menyebar di masyarakat. Pembalakan liar, pelenyapan hutan lindung yang menjadi sumber air, hingga dongeng kebrutalan petani SPP, tersanggah sudah. Malah sebaliknya, kami menemukan sebuah cerita yang tersimpan di balik puncak Belender: perjuangan 16 keluarga meraih penghidupan dengan jalan yang legal, tetap hormat pada alam, dan tentu saja ramah pada setiap orang.

Menyentuh puncak Belender kami melihat realitas dari dekat lalu mencoba bersatu dengan lingkungan. Setelah itu kami ikut mengabarkan.
Komunitas Belajar Sabalad



Menyentuh Puncak Belender

Menyentuh Puncak Belender

Menyentuh Puncak Belender

Perlahan tapi pasti, peristiwa demi peristiwa tersampaikan. Kisah kerusakan lingkungan menempati urutan teratas sebagai peristiwa yang menakutkan. Kini, terdengar sudah berita tentang hutan yang semakin berkurang, pencemaran lingkungan, polusi udara, serta banyak lagi kabar tentang alam yang semakin krisis. Semuanya senada dengan isu global warming.

Di sekitar kita, utamanya di wilayah Kabupaten Pangandaran, kerusakan alam mulai menjadi momok menakutkan. Belakangan tersiar kabar tentang penambangan pasir besi yang meresahkan. Penebangan hutan lindung serta pembalakan liar juga ikut meresahkan. Para petani banyak yang khawatir dengan begitu drastisnya perubahan iklim, ditambah semakin sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak orang ikut tersulut amarah, terutama karena gossip yang melibatkan Serikat Petani Pasundan (SPP).

Organisasi tersebut sering menjadi kambing hitam atas kerusakan di sejumlah hutan. Konon, para petani yang terlibat diorganisir untuk menebang sejumlah hutan dengan istilah reklaiming. Saking intensifnya berita pembalakan hutan itu, tak sedikit yang menganggap bahwa kekeringan bermula dari ulah para petani. SPP, sekali lagi menjadi kambing hitam.

Di Belender, sebuah kawasan hutan yang terletak di desa Kersaratu kecamatan Sidamulih kabupaten Pangandaran, isu reklaiming menjadi bahan obrolan. Hutan yang tadinya terbentang, perlahan dialihfungsikan oleh sejumlah orang. Mereka kemudian menanam pohon kopi sebagai sumber komoditas. Telinga banyak orang yang mendengar kabar demikian semakin panas.

Begitu pula dengan kami. Sejumlah pelajar, mahasiswa, pemuda yang berkumpul dalam wadah komunitas belajar Sabalad merasakan kekhawatiran akan kondisi alam di Belender yang dikabarkan semakin tak jelas. Hanya dengan spirit kepedulian serta rasa ingin tahu, pada tanggal 16-17 Februari 2013 komunitas memutuskan untuk melakukan observasi langsung melalui kegiatan kemping di puncak Belender.

Acara ini diikuti 25 orang anggota komunitas belajar Sabalad. Di luar program taman baca, bimbingan belajar, diskusi ilmiah, literasi media, kegiatan observasi lingkungan menjadi salah satu program utama. Para observer berangkat dini hari dari saung diklat Sabalad di wilayah Parigi. Kemudian konvoi hingga titik pertama. Perjalanan berikutnya ditempuh dengan berjalan kaki mendaki puncak belender. Kami belum begitu mengerti berapa ketinggian puncak Belender sesungguhnya. Yang jelas, perjalanan melewati rute menanjak hingga 85 derajat. Kami tiba setelah melewati 4 jam perjalanan.

Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan pemandangan yang tak biasa. Awalnya, perkampungan layaknya di kampung kami. Selanjutnya kami melewati hutan lindung yang sebagian sudah ditanami pohon kapol oleh warga setempat. Setelah itu, sampai di salah satu bukit Belender yang sedah ditanami pohon kopi. Pemandangan alam yang dibatsi eloknya pantai Pangandaran, hingga Batu Karas begitu menyita perhatian. Di puncak itu, hutan sudah mulai tandus, dan pohon-pohon besar tak kelihatan lagi.

Perjalanan berikutnya melewati beberapa rumah milik warga. Kebanyakan dari mereka adalah anggota SPP. Kami melihat bendera SPP di tiap rumah. Sambil disuguhkan pemandangan alam yang agak berbeda, kami memasang tenda di puncak Belender. Setelah itu, kami melaksanakan agenda utama kami, observasi.

Beberapa orang ditugaskan sebagai pencari fakta melalui wawancara langsung dengan para warga. Warga yang juga sebagai petani di Belender begitu terbuka. Mereka tak segan bercerita apa adanya, bahkan rela membagi waktu bersama saat kami mengadakan acara ramah tamah di sekeliling api unggun. Peserta lain, mencatat dan bersiap mementaskan performing art. Kebetulan terdapat anak keturunan para petani yang sedia kami ajak untuk nonton peserta yang berunjuk gigi.

Tanpa diduga, ternyata banyak hal yang kami peroleh saat acara itu berlangsung. Uraian Pak Tomi, seorang petani di sana, menjelaskan asal-usul Belender. Menurutnya, Belender adalah perkampungan adat yang karena peristiwa politik tahun 1940an, tanah itu dikosongkan. Kemudian Perum Perhutani mengambil alih hutan adat itu menjadi wilayah Perum dan menanaminya. Kemudian, setelah reformasi, warga Belender kembali memperjuangkan tanahnya melalui aksi reclaiming hutan adat mereka.

Pak Tomi dengan apik menunjukan batas-batas antara hutan adat, hutan lindung, pangangonan, hutan perum dan sejumlah tanah yang menjadi hak guna oleh perusahaan/perorangan. Bahkan dia menunjukan bukti-bukti fisik yang menguatkan Blender sebagai hutan adat, diantaranya terdapat kuburan (astana) dan pohon-pohon yang pernah ditanam warga layaknya di kampung-kampung.

Pada akhirnya, dengan penuturan warga Belender, kami semua dapat informasi lain yang berbeda dengan gossip yang selama ini menyebar di masyarakat. Pembalakan liar, pelenyapan hutan lindung yang menjadi sumber air, hingga dongeng kebrutalan petani SPP, tersanggah sudah. Malah sebaliknya, kami menemukan sebuah cerita yang tersimpan di balik puncak Belender: perjuangan 16 keluarga meraih penghidupan dengan jalan yang legal, tetap hormat pada alam, dan tentu saja ramah pada setiap orang.

Menyentuh puncak Belender kami melihat realitas dari dekat lalu mencoba bersatu dengan lingkungan. Setelah itu kami ikut mengabarkan.
Komunitas Belajar Sabalad



Menyentuh Puncak Belender

Menyentuh Puncak Belender

Menyentuh Puncak Belender

Perlahan tapi pasti, peristiwa demi peristiwa tersampaikan. Kisah kerusakan lingkungan menempati urutan teratas sebagai peristiwa yang menakutkan. Kini, terdengar sudah berita tentang hutan yang semakin berkurang, pencemaran lingkungan, polusi udara, serta banyak lagi kabar tentang alam yang semakin krisis. Semuanya senada dengan isu global warming.

Di sekitar kita, utamanya di wilayah Kabupaten Pangandaran, kerusakan alam mulai menjadi momok menakutkan. Belakangan tersiar kabar tentang penambangan pasir besi yang meresahkan. Penebangan hutan lindung serta pembalakan liar juga ikut meresahkan. Para petani banyak yang khawatir dengan begitu drastisnya perubahan iklim, ditambah semakin sulitnya memenuhi kebutuhan sehari-hari. Banyak orang ikut tersulut amarah, terutama karena gossip yang melibatkan Serikat Petani Pasundan (SPP).

Organisasi tersebut sering menjadi kambing hitam atas kerusakan di sejumlah hutan. Konon, para petani yang terlibat diorganisir untuk menebang sejumlah hutan dengan istilah reklaiming. Saking intensifnya berita pembalakan hutan itu, tak sedikit yang menganggap bahwa kekeringan bermula dari ulah para petani. SPP, sekali lagi menjadi kambing hitam.

Di Belender, sebuah kawasan hutan yang terletak di desa Kersaratu kecamatan Sidamulih kabupaten Pangandaran, isu reklaiming menjadi bahan obrolan. Hutan yang tadinya terbentang, perlahan dialihfungsikan oleh sejumlah orang. Mereka kemudian menanam pohon kopi sebagai sumber komoditas. Telinga banyak orang yang mendengar kabar demikian semakin panas.

Begitu pula dengan kami. Sejumlah pelajar, mahasiswa, pemuda yang berkumpul dalam wadah komunitas belajar Sabalad merasakan kekhawatiran akan kondisi alam di Belender yang dikabarkan semakin tak jelas. Hanya dengan spirit kepedulian serta rasa ingin tahu, pada tanggal 16-17 Februari 2013 komunitas memutuskan untuk melakukan observasi langsung melalui kegiatan kemping di puncak Belender.

Acara ini diikuti 25 orang anggota komunitas belajar Sabalad. Di luar program taman baca, bimbingan belajar, diskusi ilmiah, literasi media, kegiatan observasi lingkungan menjadi salah satu program utama. Para observer berangkat dini hari dari saung diklat Sabalad di wilayah Parigi. Kemudian konvoi hingga titik pertama. Perjalanan berikutnya ditempuh dengan berjalan kaki mendaki puncak belender. Kami belum begitu mengerti berapa ketinggian puncak Belender sesungguhnya. Yang jelas, perjalanan melewati rute menanjak hingga 85 derajat. Kami tiba setelah melewati 4 jam perjalanan.

Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan pemandangan yang tak biasa. Awalnya, perkampungan layaknya di kampung kami. Selanjutnya kami melewati hutan lindung yang sebagian sudah ditanami pohon kapol oleh warga setempat. Setelah itu, sampai di salah satu bukit Belender yang sedah ditanami pohon kopi. Pemandangan alam yang dibatsi eloknya pantai Pangandaran, hingga Batu Karas begitu menyita perhatian. Di puncak itu, hutan sudah mulai tandus, dan pohon-pohon besar tak kelihatan lagi.

Perjalanan berikutnya melewati beberapa rumah milik warga. Kebanyakan dari mereka adalah anggota SPP. Kami melihat bendera SPP di tiap rumah. Sambil disuguhkan pemandangan alam yang agak berbeda, kami memasang tenda di puncak Belender. Setelah itu, kami melaksanakan agenda utama kami, observasi.

Beberapa orang ditugaskan sebagai pencari fakta melalui wawancara langsung dengan para warga. Warga yang juga sebagai petani di Belender begitu terbuka. Mereka tak segan bercerita apa adanya, bahkan rela membagi waktu bersama saat kami mengadakan acara ramah tamah di sekeliling api unggun. Peserta lain, mencatat dan bersiap mementaskan performing art. Kebetulan terdapat anak keturunan para petani yang sedia kami ajak untuk nonton peserta yang berunjuk gigi.

Tanpa diduga, ternyata banyak hal yang kami peroleh saat acara itu berlangsung. Uraian Pak Tomi, seorang petani di sana, menjelaskan asal-usul Belender. Menurutnya, Belender adalah perkampungan adat yang karena peristiwa politik tahun 1940an, tanah itu dikosongkan. Kemudian Perum Perhutani mengambil alih hutan adat itu menjadi wilayah Perum dan menanaminya. Kemudian, setelah reformasi, warga Belender kembali memperjuangkan tanahnya melalui aksi reclaiming hutan adat mereka.

Pak Tomi dengan apik menunjukan batas-batas antara hutan adat, hutan lindung, pangangonan, hutan perum dan sejumlah tanah yang menjadi hak guna oleh perusahaan/perorangan. Bahkan dia menunjukan bukti-bukti fisik yang menguatkan Blender sebagai hutan adat, diantaranya terdapat kuburan (astana) dan pohon-pohon yang pernah ditanam warga layaknya di kampung-kampung.

Pada akhirnya, dengan penuturan warga Belender, kami semua dapat informasi lain yang berbeda dengan gossip yang selama ini menyebar di masyarakat. Pembalakan liar, pelenyapan hutan lindung yang menjadi sumber air, hingga dongeng kebrutalan petani SPP, tersanggah sudah. Malah sebaliknya, kami menemukan sebuah cerita yang tersimpan di balik puncak Belender: perjuangan 16 keluarga meraih penghidupan dengan jalan yang legal, tetap hormat pada alam, dan tentu saja ramah pada setiap orang.

Menyentuh puncak Belender kami melihat realitas dari dekat lalu mencoba bersatu dengan lingkungan. Setelah itu kami ikut mengabarkan.
Komunitas Belajar Sabalad



Menyambut Diaspora Indonesia

Menyambut Diaspora Indonesia

Oleh Ai Nurhidayat

“Banyak anak muda yang menunggu momentum yang pas untuk kembali ke Tanah Air. Moemtum yang tepat itu tahun 2014”

Kurang lebih begitu ucapan seorang WNI Asal Indonesia ini terekam dalam surat kabar. Sepertinya, suaranya mewakili mereka para diaspora Indonesia yang ada di luar negeri. Bahkan, mewakili sebagian warga Indonesia yang belum pernah, tidak sedang, atau bukan diaspora. Mengingat, jika kembali ke Indonesia sebelum 2014, suasana tidak memungkinkan untuk bebar dari hiruk-pikuk politik.
Diaspora Indonesia menjadi wacana baru yang jarang terekspose di media massa. Pengertian umumnya, diaspora Indonesia adalah orang yang memiliki ikatan dengan Indonesia.  Namun dalam konteks ini, diaspora lebih longgar diartikan sebagai orang yang berasal dari Indonesia, orang yang pernah memiliki Indonesia, atau yang memiliki hubungan leluhur dengan orang Indonesia.  

Diaspora Indonesia yang sementara ini terjaring berjumlah 3 juta orang (Keterangan Dino Pati Djalal). Barangkali angka ini belum menunjukan yang sesungguhnya. Beberapa orang memperkirakan sekitar 6 hingga 10 juta. Angka ini tentu saja bukan angka yang sedikit. Bila benar menyentuh angka 10 juta, itu berarti setara dengan sepuluh kabupaten.

Dengan jumlah sebanyak itu, semestinya kita mampu menciptakan berbagai kemajuan untuk bangsa. Tetapi rupanya, gerakan diaspora Indonesia terbilang telat. Indonesia dalam hal ini mesti melirik keberhasilan Negara semisal Cina, India, Israel agar bisa menggunakan diaspora sebagai instrument yang berguna untuk mendorong cita-cita kemerdekaan.

Menyimak hasil KDI 1 tempo hari di Amerika, Diaspora semakin diberi ruang perhatian cukup menggembirakan. Terlepas dari kepentingan politik tertentu, diaspora memang pastas digunakan sebagai bagian dari ikhtiar baik dalam membuka ruang pertukaran informasi, investasi, dan seterusnya.
Karena itu, gerakan semacam ini perlu didukung oleh insan muda terutama yang menaruh minat untuk perbaikan bangsa ke depan.

Sebagai pengamat yang ikut menyimak perkembangan diaspora, saya menaruh harapan besar untuk gerakan diaspora ini. ada berbagai alasan yang bisa memperkuat dukungan saya ini. salah satunya karena kondisi di dalam negeri sendiri yang (masih) amburadul. Masalah penegakan hukum dan pembasmian korupsi, masalah pangan, masalah kebudayaan, dan sebareg masalah lainnya sudah tak susah disebut. Semuanya menghantui generasi muda seperti saya. Tentu saja ini karena ada musabab yang tak kalah mengerikan. Persoalan ekonomi politik mentinya menempati unrutan pertama untuk diselesainkan.

Wilayah ekonomi politik kita masih sepenuh hati melihat pendidikan, kebudayaan (terutama). Misalnya dalam menghadapi angka kemiskinan, pemerintah mengambil tindakan mengimpor ketimbang menyediakan dalam negeri. Selain itu, pemerintah berpihak pada pengusaha besar, dan cenderung melupakan sector ril. Misalnya dalam pengaturan frekuensi media massa. Secara telanjang, pemerintah membiarkan isi kepala warga utuk 5 pemilik perusahaan media di Indonesia. Dalam menjalankan tugas terkait persoalan ekonomi politik ini, pemerintah tak berhasil menjaga asset Negara.

Selain itu, pemerintah menghadapi persoalan cenderung diselesaikan secara kasar (di luar hukum atau bahkan mempermainkan hukum). Negara memiliki rekaman yang cukup buruk manakala represif dalam menghadapi rakyatnya.  Seharusnya kita belajar tentang beberapa hal.

Begitu Rusia meluncurkan roket ke luar angkasa yang membuat kaget dunia, terutama Amerika, ada sebuah kejadian kecil tapi penting. Kenedy Presiden Amerika yang kala itu mendengar kabar tentang peluncuran roket sebagai sebuah karya utakhir orang Rusia. Kalimat yang terlontar dimulutnya adalah “apa yang salah dengan pendidikan di negeri ini?”. kemudian sejak saat itu, Amerika memberi perhatian yang begitu besar. Kenedy melihat pendidikan sebagai aspek terpenting dalam kemajuan Negara.

Gambaran itu sepertinya patut kita perhatikan dengan terbuka. Teladan yang diberikan Kenedy, tentu saja daam persoalan menyikapi arti penting pendidikan, mesti kita simak baik-baik. Kontras dengan yang dilakukan di Negara kita. Sudah jauh tertinggal pun, pendidikan masih berjalan lambat, bahkan banyak yang menyimpang. Ini sebetulnya faktor yang menghambat Indonesia.

Sebagai jalan keluar yang ditawarkan, untuk menyikapi gelombang diaspora dan menyikapi hal-hal yang dianggap darurat di dalam negeri yang peru diselesaikan, sebaiknya anak muda segera mengambil langkah.

Di Pangandaran, Jawa Barat, wacana tentang diaspora juga dibahas dalam forum mini pada penghujung 2011 lalu. Buahnya adalah terjalinnya komunikasi antar anak muda yang pada puncaknya membentuk komunitas belajar Sabalad (di youtube : “sabalad”).  

Kita memang belum merasakan ke luar negeri, tetapi kita menyimak dari bacaan tentang diaspora Negara lain. Kita melihat betapa pentingnya jika diaspora Indonesia juga diangkat sebagai bagian dari strategi kebangsaan. Kita membutuhkan informasi, dukungan dan sinergitas dengan para diaspora Indonesia. Karena itu, menjelang KDI 2 pada 18-20 Agustur 2013 ini, kami mengucapkan selamat datang, selamat datang kembali di Indonesia. Semoga acara yang dimaksud memberi angin segar, terutama untuk generasi muda di Indonesia.

Demi Indonesia !

Mas Marco, Tinjauan dari Jauh

Mas Marco, Tinjauan dari Jauh


Oleh Ai Nurhidayat

Komunisme bisa jadi paham yang digandrungi tokoh pergerakan generasi pertama dengan diikuti generasi berikutnya. Ide ini tidak jauh dari ide-ide Marx yang sudah dikomuniskan oleh sederet pemikir dan tokoh gerakan di Eropa Timur dan Asia.
Paham ini tidaklah sampai ke Indonesia begitu saja. Ada beberapa tokoh yang secara teguh membaca, merancang gerakan, hingga melaksanakan tindakan praksisnya. Adalah seorang Marko Kartodokromo yang biasa dipanggil Mas Marco.
Yang menarik dari Mas Marco adalah, dia memanfaatan media sebagai alat penyampai gagasan sekaligus penyulut gerakan. Mas Marco, kemudian menjadi penggerak organisasi “kiri” terutama Sarekt Islam dan dipungkas dengan keterlibatannya membentuk organisasi di pengasingan. Sebagai tokoh buangan penghuni Digoel, ia teguh dalam mewarnai perjuangan komunisme yang bisa dikatakan “selalu kalah”. Walau begitu, “kehalahan” itu tidak percuma. Sebagian dampak kekalahannya masih menjadi penyulut gerakan kiri.
Sebagai penyebar komunisme, Marco melihat Indonesia sebagai daerah yang perlu dibebaskan dengan memberi penerang melalui media. Sederet media pernah menjadi tempatnya menemukan identitas kebangsaan. Malah, Mas Marco membidani media sendiri tak lain sebagai alat penerangan dan perjuangan yang menyebabkannya beberapa kali dibuang atau dipenjarakan.
Doenia Bergerak, salah satu tempatnya berkarya menjadi alat juang. Melalui media itu, Marco mengorganisir jurnalis kala itu dalam Inlandshe Journalisten Bond (IJB) di Surakarta. Dalam sejarah kewartawanan di Indonesia, Mas Marco bersama dengan Tirto Adihi Soeryo pantas disebut peletak dasar pers perjuangan.
Pilihan bergerak dengan menggunakan kekuatan media menjadi pilihan strategis dan berdampak panjang. Uniknya, penggunaan media yang dilakukannya bukan sekedar beropini, menyampaikan fakta terkait komunisme, tetapi juga berkarya dalam bentuk sastra.
Puisinya yang memperkenalkan istilah “sama rata sama rasa” cukup menjadi rangkuman dari isi pikiran dan gerakan yang hendak diperjuangkan. Tampaknya, Mas Marco secara sadar atau tidak, menggunakan sastra sebagai alat perjuangan. Ini yang kemudian menjadikannya tokoh yang perlu diberi perhatian khusus, utamanya dalam perjuangannya dalam rangka memelopori perjuangan memperoleh kemerdekaan. Jalannya yang “selalu kalah” ini merupakan pengorbanan yang penting dan berarti untuk kaum kiri selanjutnya.

* Tulisan ini berupa pointer hasil bacaan saya dalam rangka meninjau Mas Marco dari “jauh”. Karenanya begitu umum dan awam.