Melawan (kampus) Tiran

Melawan (kampus) Tiran


Institusi yang sudah merasa mapan dan enggan dikoreksi, berarti tiran. Perlu dilawan.

Siapa tahu sodara sekalian pernah menjumpai fenomena serupa. Tentang pengelola kampus yang membuntuti wacana terutama yang mengancam citra kampusnya. Atau, yang memilih tidak membuka akun dengan alasan tidak mau terlibat percakapan situs jejaring sosial. Padahal, bagi sebagian mahasiswa memilih mengungkapkan kejadian terutama yang menodai haknya melalui jejaring sosial. Alasannya sederhana, lebih aman, lebih tersamarkan, atau lebih merasa sesuai dengan perkembangan global.

Fenomena itu biasa, bukan barang mewah. Aku kira kalo ditanggapi dengan tenang, tak sampai menyulut amarah. Sodara sekalian yang merasa terusik, silahkan beralih ke posting lain. Tetapi melalui postingan ini, aku hendak menyampaikan, tentang pentingnya sikap terbuka terhadap koreksi yang datang dari stakeholder utama. Dalam hal ini, tentang mahasiswa.

Sebagai institusi yang berada dalam lingkungan demokratis, kampus semestinya jadi contoh pengejawantahan demokratisasi. Satu dari sekian syarat demokrasi adalah kebebasan berpendapat, yang sangat mungkin menghasilkan kritik atau koreksi. Sebagaimana konsep awal, demokrasi tak mungkin menjadi sistem "sempurna" dalam sekejap. Tetapi "menuju sempurna". Tidak statis, tapi dinamis. Itu berarti, proses kritik dan koreksi bakal terjadi terus menerus.

Jika bersandar pada konsep itu, kampus manapun di jagad Nusantara ini perlu terbuka untuk perbaikan. Tak perlu menutup-nutupi, terlebih karena alasan citra semata. Kesadaran dan kualitas peserta didik, tidak mungkin terpenuhi semata karena citra. Lebih karena upaya serius dan tentu saja, demokratis.

Kampus yang enggan menanggapi kritik dan enggan mengoreksi, berarti sudah tiran. Tiran yang dimaksud adalah kekuasaan mutlak,  yang sudah pasti memaksa. Dalam hal ini, tiran bersifat "menuhan", menjelma seperti tuhan. Manalagi yang disebut mirip tuhan jika bukan sikap anti terhadap kritik dan enggan mengoreksi diri alias merasa mapan. Sementara, dalam kajian-kajian, kita mengenalnya dengan istilah "thagut". Tunduk pada "thagut" adalah suatu bentuk penyekutuan tuhan. Itu terlalu jauh. Ungkapan Lord Acton yang sudah hampir bosan terdengar, cocok untuk menggambarkan efek tiran. "Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan absolut pasti korup".

Bagaimana bisa, kampus terjebak dalam tiran yang sudah hampir dipastikan korup, sementara demokrasi tak mungkin utuh dengan digerogoti korupsi. Terlebih bila kampus yang menyelipkan mata kuliah tertentu yang terang-terangan melawan korupsi. Uraian ini bukanlah celoteh untuk mengikis citra kampus-kampus kita hari ini. Tidak. Justru dengan posting seperti ini, sebaiknya setiap institusi berbenah diri. Berefleksi terutama terkait penyelenggaraan pendidikan.

Tak sedikit, para tetinggi menepis masukan semacam ini dengan menyerang balik stakholdernya. Merasa kinerja sudah maksimal, tanpa kesempatan membuka ruang kritik dan koreksi. Sikap ini yang menjadi ancaman demokratisasi di kampus dan perlu dilawan oleh karena sudah menjelma menjadi tiran. Saatnya, kita saling meluangkan waktu dan merelakan diri saling mengoreksi, agar sikap tiranik bisa terhindari.

Suatu saat, kawan kita dan generasi penerus akan bergantung pada apa yang kita lakukan sekarang. Apakah kita menjatuhkan pilihan melawan tiran-tiran itu, atau sengaja membiarkannya. Mari berpikir lalu bergerak, melawan!

Soal Kualitas Pengajar

Soal Kualitas Pengajar

Aku butuh transparasi di kampus sendiri. Kamu?

Sumpah, yang bikin prihatin adalah sistem cek kelayakan para pengajar di kampus-kampus. Semua kampus di negeri ini harus punya kontrol yang baik agar kualitas pengajar (atau pendidik) dapat terjamin.

Keseriusan kampus pada masalah ini menunjukan komitmen pada pendidikan, sekaligus memenuhi harapan bahwa institusi pendidikan menjadi pengayom generasi penerus bangsa. Karena itu, transparansi, akuntabilitas dan upaya demokratis lainnya perlu diterapkan.

Salah satu upaya serius, khususnya terkait para pengajar, adalah dengan menentukan kriteria, pengawasan proses, dan penilaian langsung dari mahasiswa. Di beberapa kampus, rekruitmen sesuai kriteria, pengawasan oleh tim khusus, dan kuesioner yang diisi mahasiswa mungkin sudah berjalan secara formalistis.

Tetapi itu tidak cukup. Perlu ada report dari institusi pendidikan langsung kepada mahasiswa sekaligus pada publik. Ini sebagai bentuk pertanggungjawaban. Tanpa itu, kinerja lembaga pendidikan patut dipertanyakan, bahkan dicurigai. Semua itu semata demi menjaga kualitas, agar tidak semata berhenti pada tahap prosedur formal.

Mari kita cek penyelenggaraan kampus kita masing-masing agar mekanisme kontrol terhadap kualitas pendidikan kita berjalan. Jangan sampai terjadi tindakan intimidatif (bully), kekerasan fisik, pelanggaran kode etik, pelanggaran prosedur, oligarki bertopeng akademis, korupsi, dan tindakan lain yang mereduksi visi dan misi.

Memang butuh tekad kuat dan keberanian dalam menghadapi persoalan semacam ini. Tentu kita sadar, pengajar memiliki "kuasa" tertentu, ditambah keleluasaannya sekaligus pada wilayah struktur. Karena itu semestinya mahasiswa bersatu, bukan saja dengan mahasiswa lain, tapi juga dengan pengajar lain yang masih memiliki nalar yang kuat untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas.


Harap-harap Cemas

Harap-harap Cemas


Beberapa kawan siswa kelas 12 SMA meminta saya untuk kumpul bareng di sebuah warung kopi. Mereka meminta saya untuk mendengarkan curahan hati mereka. Katanya, terdapat banyak kasus aneh yang terjadi di sekolah mereka. Salah satunya soal kewajiban mengikuti les tambahan, lagi berbayar.

Adakah kewajiban sekolah semacam itu dalam kurikulum belajar yang dibuat mendiknas? Saya memastikannya tidak ada. Biarpun di lapangan terjadi, itu inisiatif sekolah atau siswa sendiri agar mampu menyelesaikan ujian. Tanda bahwa belajar di kelas tidak cukup yang pada akhirnya harus ditambah.

Wajib atau tidak? Tentu saja tidak wajib. "Tambahan" berarti ekstra di luar perencanaan. Bukan bagian dari yang direncanakan. Padahal pendidikan memiliki perencanaan. Seperti yang sudah jelas terdefinisikan dalam undang-undang: pendidikan adalah upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Bagaimana dengan les berbayar? Sekilas bisa dibenarkan atas alasan ongkos waktu mengajar bagi sang guru. Nyaris tak bermasalah. Kecuali jika bayarannya terlampau besar dan mendapat embel-embel "wajib". Nah, perkara mewajibkan les berbayar inilah sesungguhnya yang bermasalah.

Dari uraian itu kita mengendus beberapa hal, terutama soal motif. Ketika les berbayar yang sebetulnya tidak wajib itu menjadi "wajib", jelas ada unsur motif memperkaya diri. Prilaku seperti ini sudah jelas terkutuk. Pasalnya, tidak semua siswa mampu membayar, terlebih bila guru les kurang baik dalam mengajarnya. Dalam hal les, memang tidak ada uji kelayakan bagi guru les. Itu artinya, mewajibkan les pada guru yang belum tentu layak,  sama saja memaksa atas apa yang belum terjamin mutunya.

Motif berikutnya adalah penyalahgunaan kekuasaan. Siswa yang bicara langsung kepada saya, juga dibenarkan oleh alumnus sekolah favorit di Ciamis, bisa menjadi sumber fakta atas penyalahgunaan kekuasaan ini. Kekuasaan yang dimaksud adalah manakala guru memberi jaminan nilai bagus untuk diterima di perguruan tinggi favorit bagi siswa lesnya. Bagi mereka yang tidak les, tidak ada perhatian khusus. Itulah contoh dari prilaku diskriminatif dimana para oknum "menakuti"  siswa dengan cara yang halus?

Tidak bisakah siswa belajar optimal di sekolah tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk les? Jawabannya tentu beragam. Hanya saja, jika memang masih banyak yang les, hal itu menjadi indikasi bahwa kurikulum yang dibuat mendiknas tidak cukup. Sekolah yang "mahal" dan didanai oleh uang rakyat itu ternyata belum cukup tuntas dalam hal memberi pendidikan.

Kita pada akhirnya butuh pengawasan yang betul-betul. Prilaku keliru yang membayangi pendidikan kita harus kita selesaikan secepatnya. Jika tidak, semua pihak akan "Harap-harap cemas". Siswa cemas karena pendidikan di sekolah dirasa tak cukup. Para guru cemas karena sebagian oknum berprilaku nyeleweng yang bisa merontokan reputasi guru. Orang tua juga cemas, sebab selain mengeluarkan biaya tambahan untuk les anaknya, mereka juga cemas akan masa depan anak-anak mereka yang sudah dititipkan ke sekolah.

Saat ada cemas dimana-mana, "harapan" kita terkontaminasi kecemasan. Padahal harapan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa melalui lembaga pendidikan, akan sulit dicapai. Sejak sekarang mari kita koreksi apa saja yang dapat merusak harapan. Harapan kita, harapan bangsa kita.

Ai Nurhidayat
Pegiat Komunitas Pelajar

Jangan Panggil ‘mereka’ Hama

Jangan Panggil ‘mereka’ Hama


Barangkali sering kita dengar istilah "Hama". Para petani beserta pembelajar ilmu alam memiliki definisi singkatnya: penjahat tanaman. Belakangan sering disejajarkan dengan istilah penyakit. Hama juga dikenalkan sebagai pengganggu hewan peliharaan. Karenanya selalu terkutuk.

Hama adalah sekelompok mahluk hidup yang mengurangi produktifitas tanaman. Para pegawai dinas pertanian beserta penjual pestisida lebih mengartikannya sebagai mahluk yang mengganggu, yang oleh karenanya harus dibasmi.

Saat menjumpai komunitas tani di kabupaten Sumedang, saya baru menyadari bahwa istilah "hama" ternyata tak sekedar istilah. Karena ada istilah itu, prilaku petani terhadap mahluk yang dianggap "hama" ternyata tidak ramah lingkungan. Keberadaannya sebagai mahluk "terkutuk" membuat para petani bergegas membeli racun untuk membunuh dan melenyapkannya. Padahal, mahluk itu pemakan tanaman yang tak berdosa. Tuhan sudah mengaturnya sedemikian rupa sehingga dengannya ekosistem menjadi seimbang.

Tapi bagi petani, tentu saja yang masih belum sadar soal ekologi, menggunakan bahan kimia anorganik untuk membunuh dan melenyapkan mahluk itu sepertinya sudah lumrah. Bahkan jika menyaksikan banyak organisme terkapar di ladang, seketika ucapan yang keluar "alhamdulillah". Lagi-lagi penggunaan istilah yang tidak tepat terjadi di sini. Setelah membunuh organisme yang juga mahluk Tuhan, malah bersyukur. Sebuah potret keganasan manusia terhadap mahluk lain.

Lantas bagaimana? Setidaknya pertanyaan itu membuat kita kembali berpikir. Bayangkan jika kerusakan ekosistem akibat ketidakmampuan petani dalam menanggulangi organisme pemakan tanaman terus berlangsung. Akan ada organisme yang punah karena teracuni atau mangsanya teracuni oleh pestisida anorganik. Generasi berikutnya bisa jadi hanya mewarisi alam rusak yang tak lagi seimbang. Bencana bisa muncul dimana-mana. Jika sudah seperti itu, berarti kita lah yang harus mempertanggungjawabkannya kelak.

Mumpung ada waktu. Mumpung banyak cara yang bisa dilakukan. Mumpung masih ada kesempatan untuk menyadari dan memperbaiki alam agar tetap lestari, kita tidak bisa menunggu. Sedini mungkin, jauhi penggunaan racun dan bahan kimia anorganik yang dapat melenyapkan organisme pemakan tanaman. Kendalikan saja pemakan tanaman salah satunya menggunakan metode sistem tanam intensifikasi. Setelah itu ganti semua prilaku bertani dengan yang ramah lingkungan. Pupuk organik serta pestisida nabati yang mudah dibuat itu.

Hilangkan istilah "hama" di kepala kita agar kita tak membuat musuh baru. Lingkungan bukanlah musuh, malah kehadirannya bermanfaat untuk semua.  Dengan begitu barulah kita pantas berucap alhamdulillah, karena upaya itu adalah upaya terbaik untuk melestarikan alam. Tanggungjawab kita mengelolanya kini dan selanjutnya.

Ai Nurhidayat
Pegiat Komunitas
Aktif di komunitas ecological farming (ecofarm-jb)

Organisasi Sosial sebagai Unsur Budaya

Organisasi Sosial sebagai Unsur Budaya
Manusia sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial selalu berupaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berupa kebutuhan utama, kebutuhan sosial, dan kebutuhan integratif. (Suparlan. 1986) Benarkah demikian? Bagaimana dengan kita sebagai mahasiswa? Mahasiswa saja sudah merupakan bagian organisasi sosial yang sudah terkategorisasi dalam struktur sosial. Terlebih mahasiswa Paramadina, bahkan status sosialnya saja memiliki nilai yang berarti di tengah mahasiswa lain.

Tetapi dapatkah golongan berlabel mahasiswa itu disebut organisasi sosial? Kenapa disebut organisasi sosial? Kenapa harus ada organisasi sosial semacam ini? Lalu bagaimana dengan lembaga kemahasiswaan lain? Bukankah lebih mudah mengkategorikan UKM sebagai organisasi sosial? Pertanyaan itu wajib diungkap dalam pergolakan wacana, lebih lebih saat diskusi.

Definisi organisasi sosial

Terdapat dua wilayah keilmuan yang secara khusus membahas organisasi sosial sebagai objek kajian. Dua wilayah itu berbeda satu sama lain, meskipun perbedaannya tipis. Dua wilayah yang dimaksud adalah antropologi sosial dan sosiologi.

Antropologi sosial melihat fenomena kemanusiaan secara utuh dan menyeluruh. Hal ini terlihat dari metode penyelidikan yang lebih berupaya menginventarisir hal yang langsung menyangkut manusia. Dalam ranah sosiologi, penyelidikan lebih memusatkan pada unsur-unsur atau gejala-gejala khusus dalam masyarakat manusia: dengan menganalisa kelompok-kelompok sosial yang khusus (social groupings), hubungan antar kelompok atau individu (social relations), atau proses yang berada di sekitar kehidupan kemasyarakatan (social processes).

Metode operasional kedua ilmu itu menghasilkan penelitian yang intensif seperti yang sering dilakukan antropolog sosial. Sementara sosiolog mengkaji masyarakat secara umum melalui metode penelitian yang meluas.

Akibat perbedaan itu, organisasi sosial dalam antropologi lebih bersifat integral. Bahwa manusia memiliki kekhususan secara individu, terikat pengalaman yang berbeda, memiliki pemahaman yang berbeda, pemahaman kebahasaan, dan seterusnya. Segala unsur lain di luar organisasi sosial mempengaruhi unsur organisasi sosial itu sendiri.

Koentjaraningrat melihat organisasi sosial ini sebagai unsur yang universal. Karena itu, dimana ada masyarakat manusia, berarti disitulah terdapat unsur yang mendorong manusia berada dalam satu pengaturan, pengorganisiran atau pengelompokan yang berfungsi menunjang kebutuhan yang berkaitan langsung dengan kehidupan, dan pada akhirnya melestarikan nilai yang telah disepakati oleh semua anggota.

Kehidupan masyarakat diorganisasi atau diatur oleh adat istiadat dan aturan berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan mana ia hidup dan bergaul dari hari ke hari. Karena masyarakat terbagi ke dalam lapisan-lapisan, maka orang yang berada di luar afiliasinya akan berbeda. Perbedaan itu menimbulkan posisi yang berbeda, ada yang tinggi dan ada yang dianggap lebih rendah.

Organisasi sosial oleh Koentjaraningrat dikategorisasikan sebagai salah satu unsur kebudayaan universal. Unsur-unsur tadi ada dan bisa didapatkan di dalam kebudayaan dan semua bangsa dimanapun di dunia.

Koentjaraningrat menguraikan posisi organisasi sosial ini menjadi kian penting dalam sebuah masyarakat terutama dalam meneliti masyarakat desa, atau masyarakat yang belum modern. Pembedaan ini sebetulnya bisa jadi merupakan cara untuk mempermudah penguraian tentang organisasi sosial.

Hubungan kekerabatan bagi Koentjaraningrat merupakan sebuah fenomena budaya yang menunjukan organisasi sosial yang masih mudah dijumpai di semua masyarakat. Hubungan kekerabatan ini menciptakan pola-pola khusus baik itu dalam proses maupun dengan nilai yang ada dalam hubungan itu. Pada sebuah masyarakat, hubungan kekerabatan, misalnya yang berdasarkan asas keturunan ayah (patrilineal) merupakan unsur yang akan mengikat anggotanya dalam lingkaran aturan yang berlaku.

Hubungan seperti di atas, bisa jadi sudah bergeser. Nilai dan segala proses yang terjadi dalam hubungan kekerabatan mengalami perubahan seiring perkembangan masyarakat. bagi Koentjaraningrat, berubahnya masyarakat ke arah industrialisasi bahkan ke era informasi akan membuat pola organisasi sosial semula, seketika berubah dan mengalami bentuk baru. Dalam masyarakat yang lebih modern, organisasi sosial ini bahkan secara definitif berubah. Muncul kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, lembaga negara, bahkan hubungan lintas negara yang pada kajian budaya masuk dalam unsur dasar yang tidak bisa ditinggalkan.

Kelompok sebagai organisasi sosial


Kelompok atau komunitas merupakan sebuah bentuk organisasi sosial terutama pada lingkungan masyarakat modern. Kelompok terbentuk bisa berdasarkan banyak hal. Ada yang menggunakan lingkup primordial, kepentingan politik, persamaan hobi dan lain hal. Secara mekanistis, kelompok bisa terbentuk melalui kedekatan (proximity) dan daya tarik (attraction) tertentu. selain itu adanya kesamaan tujuan dan alasan ekonomi dapat pula menjadi sebab mengapa orang mau berkelompok (Gibson et al. 1982).

Fitrah manusia sebagai mahluk sosial yang memang tidak bisa lepas dari pengaturan agar kondisi sosial tetap terjalin dengan baik mengharuskan adanya organisasi sosial semacam ini. Keinsyafan individu akan kebutuhan inilah yang mendorong terciptanya organisasi sosial. Selain itu, fitrah manusia yang lain seperti halnya kebebasan dalam menentukan kehendak mendorong kemungkinan munculnya perbedaan diantara anggota kelompok. Namun dibalik perbedaan tersebut, manusia memiliki sifat konformitas, yaitu kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap apa yang diinginkan orang lain. Seseorang bersedia melakukan sesuatu bentuk prilaku yang diinginkan orang lain, meskipun dia sendiri tidak menginginkan prilaku tersebut. Sifat konformitas ini didasari rasa takut celaan dari lingkungannya (Sears at al. 1985). Semakin besar rasa percaya (trust) individu terhadap individu-individu lain dalam kelompok, semakin besar kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok.

Cukup banyak teori yang membantu menjelaskan fenomena penting dalam kehidupan berkebudayaan ini. Satu contoh yang membantu dalam menganalisa proses munculnya kelompok sebagai bagian dari organisasi sosial ini adalah teori tahapan pertumbuhan kelompok menurut Tuckman et al :
1. Forming (fade pembentukan rasa kekelompokan)
2. Storming (fase pancaroba)
3. Norming (fase pembentukan norma)
4. Performing (fase berprestasi)

Uraian singkat ini dapat membantu kita melihat keberadaan kelompok atau komunitas yang sering kita jumpai, bahkan kita berada di dalamnya, yang mendorong keinsyafan kita bahwa fenomena kelompok sebagai organisasi sosial tidak bisa kita hindari. Sebaliknya, kelompok tertentu yang dipertahankan merupakan kelompok yang masih dipercaya sebagai penentu kebutuhan anggotanya. Kelompok tertentu, termasuk yang sudah memiliki sejarah panjang dan legitimit, manakala sudah tidak sesuai dengan kebutuhan, akan bubar dengan sendirinya.

*Disampaikan dalam diskusi tentang Organisasi Sosial menurut perspektif Koentjaraningrat.
**Sumber bacaan utama dari Pengantar Ilmu Antropologi karya Koentjaraningrat dan beberapa buku penunjang

Menyikapi Perubahan Zaman

Menyikapi Perubahan Zaman
(Pernah dimuat di harian Kabar Priangan)

Beruntunglah mereka yang berusia di atas 12 tahun. Selain sempat merasakan hidup di dua abad dan dua milenium, mereka mungkin mengalami masa-masa dimana hidup kian berbeda dengan dan tanpa internet.

Karena itulah lantas saya bersyukur, betapa kemajuan memang selalu bergerak maju. Hanya tindakan bodoh dan siap-sialah yang menyesali perubahan. Hukum perubahan, menurut saya adalah bukti bahwa ada kemajuan, proses, dinamika serta tantangan baru. Termasuk di dalamnya, soal perubahan cara berkomunikasi.

Sebagai generasi yang lahir di akhir milenium kedua dan tumbuh muda di awal milenium ketiga, saya merasakan betul akibat perpindahan zaman, salah satunya dengan munculnya internet. Dengannya dunia semakin berwarna. Bisa jadi lebih mudah, tetapi bisa juga lebih rumit. Dengan maraknya penggunaan internet di awal abad 20 ini, komunikasi semakin mudah, sekaligus memberi kemungkinan "mendekatkan" atau "menjauhkan" antar sesama kita.

Saya masih ingat di awal tahun 2000 - 2001, di kota Ciamis saja baru ada satu warung internet. Lokasinya dekat trafic light Lokasana. Sulit sekali rasanya untuk merasakan kegelimangan harta melalui internet. Tetapi kini, dua belas tahunan berikutnya, warnet marak dimana-mana. Bahkan di setiap "tikungan jalan". Membuka kesempatan bagi warga masyarakat seluruhnya, untuk ikut memanfaatkan produk peradaban ini.

Bagi para pelajar atau pemuda seperti saya, atau mereka yang lahir setelah Saya, internet bukan lagi istilah asing. menggunakannya tak lagi canggung. Bagi yang lain, ini adalah jendela dunia. Bagi pelajar, ini adalah sarana yang memungkinkan terjadinya revolusi belajar. Melalui ketersediaan informasi pada situs-situs berita atau situs jejaring sosial, nyaris membuat proses pembelajaran di sekolah kian kuno dan harus segera direvolusi. Tentu saja revolusi itu perlu "syarat" yaitu dengan cara memilah: Yang lampau tetapi masih relevan, ambil! Yang baru dan bagus buat peradaban, cepat manfaatkan! Di luar itu, tinggalkan saja. "Syarat" ini mirip kalimat ushul fiqh : Al muhafadlotu 'ala al qodiimi al shalih, wa al ahdu li al jadiidil ashlah.

Kurang lebih seperti itulah cara yang paling realiatis menyikapi perubahan zaman. Akan ada banyak perubahan lain. Perubahan cara berpikir, bersikap, bertingkahlaku, dan perubahan lainnya. Hanya memang, perubahan-perubahan mau bagaimanapun bentuknya, tetap tak bakal berarti apa-apa tanpa ada upaya refleksi. Jadi, relakanlah sebagian waktu untuk berefleksi.

Ai Nurhidayat
Pegiat Komunitas

Membaca Zaman Maju

Membaca Zaman Maju
(pernah dimuat di harian Kabar Priangan)

Cukup jelas kita perhatikan, tak ada produksi berlimpah untuk ekspor padi akibat petani belum sepenuhnya swasembada pangan. Tidak juga kita saksikan barang sejenis telepon genggam buatan asli anak daerah, padahal siapa yang tidak membutuhkan alat konunikasi di zaman ini. Lebih-lebih kita tak pernah dengar ada orang yang membuat kapal laut, padahal di selatan sana kita punya laut. Jangankan menyaksikan produknya terjual, terimpikan saja mungkin tidak. Inilah secuil realitas yang menghinggapi kita sebagai anak daerah, putra Priangan.

Barangkali contoh itu sudah cukup menggambarkan ada yang kurang dari kita. Pesan ironi dari contoh tadi adalah bukti bahwa kita tidak siap untuk betul-betul mandiri dan tidak bergantung diri dengan bikinan orang. Pahit rasanya, menyaksikan uang keluar dari saku, entah untuk keuntungan siapa. Sekian banyak, atau hampir seluruhnya dari kita bergantung, menyenderkan diri pada sumber kuasa yang entah dimana.

Bagi masyarakat sekarang, belum cukup syarat untuk membangun daerah menjadi daerah yang serba mandiri dan menciptakan peradaban sendiri. Masyarakar sekarang hanya ekor dari peradaban yang kepalanya ada di negara-negara maju. Silahkan mau menilai jujur atau tidak, kenyataan ini perlahan harus kita telan sebagai bekal refleksi.

Bagaimana selanjutnya? Apa yang harus dilakukan? Seabreg pertanyaan bagi yang mau berpikir mungkin selalu terlontar. Karenanya, mari kita berikhtiar mengurainya satu-satu dan mulai bergerak sesuai kapasitas kita.

Sebuah ayat dari Al-Quran cukup menarik untuk disimak. "iqra", bacalah! Ternyata cukup relevan menjelaskan sekaligus menjadi solusi atas permasalahan yang kita hadapi. Rendahnya inovasi, minimnya kreativitas, seuseutnya masyarakat kita untuk maju dipastikan karena masyarakat kita tak begitu akrab dengan bunyi ayat tadi, perihal membaca. Mengerikan! mengingat setiap anggota masyarakat, terlebih di era informasi ini memiliki kesempatan yang begitu besar untuk membaca. Tapi tak juga aktivitas itu membudaya. Padahal itulah cara terbaik untuk mendapat informasi yang pasti dibutuhkan untuk kemajuan apapun.

Habitus masyarakat yang tak doyan membaca itu, diam-diam menular di kalangan anak muda. Jarang sekali pelajar atau mahasiswa mau membaca biarpun sedang bersekolah. Tolak ukurnya mudah saja. Tanya saja pada guru-guru mereka, apakan peserta didiknya doyan baca? (Sekalian tanya gurunya juga, apakah gurunya suka membaca).

Di Ciamis misalnya, sejak awal milenium ini, jumlah toko buku tak lebih dari lima toko. Sebagian diantaranya hampir dan sudah bangkrut. Padahal jumlah penduduk Ciamis lebih dari sejuta setengah dan hampir semua melek huruf. Sekilas contohnya tak masuk akal, tetapi indikasi apa lagi yang mampuh mengukur daya baca masyarakat, sementara di halte, di angkot, di alun-alun, di ruang tunggu, bahkan di mesjid-mesjid, jarang terlihat orang baca. Di perpustakaan saja, silahlan cek sendiri... hasilnya menyedihkan.

Padahal kalo saja masyarakat kita melek huruf dan memiliki kehendak membaca, paling tidak kita bisa mengulang kesuksesan negeri lain yang maju terlebih dahulu dengan akrabnya mereka pada aktivitas membaca. Dengan begitu kita tidak melulu bergantung lagi. Saya sendiri percaya, membaca adalah cara terbaik menghadapi zaman yang terus maju ini.


Ai Nurhidayat
Pegiat Komunitas

Peduli Lingkungan

Peduli Lingkungan

 Sebuah tongkrongan di warung kopi ternyata bisa membuka tabir banyak hal. Diantaranya percakapan saya yang berlangsung dengan seorang petani di wilayah Ciamis Selatan. 

Kami berbicara tentang perubahan alam yang memang semakin menghawatirkan. Baru-baru ini isu global warming naik pamor. setiap orang membicarakannya dan tak jarang yang takut karenanya. Di televisi, isu ini santer diperbincangkan hingga banyak pengiklan mencantumkan label "hijau" dalam iklannya. Itu di televisi, di dunia betulan isu global warming tak membuat kerusakan alam berhenti. Mungkin belum.

Sebut saja kerusakan akibat kebijakan pemerintah sebagai contoh. Baru-baru ini ada program bantuan untuk kelompok tani di kabupaten Ciamis (mungkin juga di kabupaten lain). Program bantuan ini harus dibelanjakan untuk kebutuhan petani. Dari mulai jenis racun hingga mereknya sudah ditentukan. Padahal, secara ilmiah, penggunaan racun atau pestisida buatan dan bukan organik adalah musuh lingkungan, berbahaya! Tetapi kebijakan itu justru berasal dari Dinas Pertania, institusi yang semestinya berada di garis terdepan dalam pemanfaatan sekaligus pemeliharaan lingkungan.

Selain pestisida, pupuk kimia anorganik juga menjadi andalah pemerintah dalam upaya peningkatan produksi. Padahal ada banyak cara terbaru yang bisa dilakukan dalam upaya mendobrak hasil produksi. Misalnya system rise of intensification (SRI) yang ramah dan tidak perlu menggunakan tambahan pupuk anorganik. Lagi-lagi, program pemerintah ini bertentangan dengan isu yang sedang santer dibicarakan tentang lingkungan. Kebijakan yang malah memperparah kondisi bumi yang sedang memanas.

Jika kita mau sedikit rela "ngorehan" ayat Al-Quran yang menjadi bacaan wajib mayoritas warga Ciamis, terdapat ayat "wa al ardha wadha'aha lil anaam" (Dan planet bumi yang diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan seluruh spesies). Rasanya pesan itu sudah jelas, jentreh. Bahwa bumi begitu pula dengan segala isinya, adalah untuk kepentingan seluruh spesies. Maka sekali saja pestisida disemprot, populasi satu spesies bisa terganggu, maka rantai makanan bakal terputus. Itu artinya, tindakan manusia merebut hak spesies lain.

Terlampau banyak contoh sebetulnya, begitu juga dengan wahyu Tuhan, berbicara tentang kelestarian lingkungan sebagai penuntun manusia yang masih butuh bimbingan untuk memelihara alam agar lestari untuk ditinggali. Hanya saja, kita kadang bergeleng kepala melihat sebagian dari kita, apalagi institusi yang kita percaya, malah merusak apa yang kita punya sekarang dan seterusnya.

Sambil mengelus dada, pembicaraan di warung kopi itu pun berakhir. semoga pembicaraan ini sampai kepada siapa saja yang peduli pada lingkungan yang kita huni bersama-sama ini. Lantas perlahan mengubahnya menjadi lebih baik.

Ai Nurhidayat
Pegiat Komunitas
Aktif di Yayasan Ecological Farming (ecofarm-jb)

Pentingnya Komunitas Pelajar

Pentingnya Komunitas Pelajar

 Realitas terkini tentang dunia pendidikan menunjukan situasi memprihatinkan. Di tengah perbaikan mutu pengajar melalui sertifikasi guru, aktivisme pelajar tetap tak bergeming. Kegiatan organisasi itu-itu saja. Sekolah sebagai institusi yang bertanggung jawab, tidak bisa mengembangkan belajar di dalam hingga di luar kelas, dimana siswa juga perlu berbaur dalam komunitas antar sekolah. Padahal kegiatan komunitas bisa mendorong terjalinnya hubungan positif untuk melatih mental, kepercayaan diri dan bekerjasama secara sinergis. 

Karena itu, perlu ada gerakan kongkrit untuk melengkapi peran sekolah yang cacat itu. Birokrasi yang kaku, berbelit dan tidak dimungkinkan untuk melahirkan inovasi, justru bisa dilawan dengan gerakan baru. Gerakan yang dimaksud tidak lain adalah gerakan berbasis komunitas. 

Perlu ada aktor penggerak yang mencoba menanamkan semangat berjejaring di kalangan pelajar. Semangat berjejaring ini idealnya berbentuk komunitas. Agar sesuai dengan spirit alternatif, komunitas itu harus mau membuka diri dan egaliter dalam mendampingi komunitas. Butuh banyak inovasi, hal kreatif dan atraksi yang dapat mendorong aktivisme komunitas.

Sebaiknya komunitas bersifat independen, tanpa ada campur tangan langsung dari institusi politik, perusahaan, atau bahkan dari pemerintah. Hubungan kepada institusi tadi hanya dimungkinkan dalam kerjasama yang tidak mengikat. Komunitas memang harus dibangun dengan semangat kerjasama, swadaya dan mandiri dalam menjalankannya. 

Dalam mengisi aktivitasnya, kegiatan komunitas bisa berupa latihan-latihan bidang tertentu dengan metode group dynamics tau metode belajar kelompok lainnya. Fokus aktivitasnya bisa berupa klub belajar sesuai matapelajaran, bisa klub pengembangan hobi, bisa sharing ide dan gagasan, dan seterusnya. Bahkan pelajar bisa diajak turun langsung dalam masyarakat melalui kontribusi nyata, semisal membantu melestarikan alam dengan menanam pohon atau melestarikan kebudayaan setempat dengan melestarikan wayang dan sebagainya.

Sebetulnya apa saja bisa dilakukan asalkan kegiatan itu positif, disukai pelajar, kontribusinya nyata dan membuat pelajar lebih leluasa. Jika di dalam kelas para guru tetap melanggengkan cara belajar yang konvensional dan bikin jemu, tak salah lagi, komunitaslah jawabannya. Dengan begitu harapan agar terjadi perubahan yang progresif di dalam kelas, tetap ada.

Ai Nurhidayat
Pegiat komunitas