Institusi yang sudah merasa
mapan dan enggan dikoreksi, berarti tiran. Perlu dilawan.
Siapa
tahu sodara sekalian pernah menjumpai fenomena serupa. Tentang pengelola kampus
yang membuntuti wacana terutama yang mengancam citra kampusnya. Atau, yang
memilih tidak membuka akun dengan alasan tidak mau terlibat percakapan situs
jejaring sosial. Padahal, bagi sebagian mahasiswa memilih mengungkapkan
kejadian terutama yang menodai haknya melalui jejaring sosial. Alasannya
sederhana, lebih aman, lebih tersamarkan, atau lebih merasa sesuai dengan
perkembangan global.
Fenomena
itu biasa, bukan barang mewah. Aku kira kalo ditanggapi dengan tenang, tak
sampai menyulut amarah. Sodara sekalian yang merasa terusik, silahkan beralih
ke posting lain. Tetapi melalui postingan ini, aku hendak menyampaikan, tentang
pentingnya sikap terbuka terhadap koreksi yang datang dari stakeholder utama.
Dalam hal ini, tentang mahasiswa.
Sebagai
institusi yang berada dalam lingkungan demokratis, kampus semestinya jadi
contoh pengejawantahan demokratisasi. Satu dari sekian syarat demokrasi adalah
kebebasan berpendapat, yang sangat mungkin menghasilkan kritik atau koreksi.
Sebagaimana konsep awal, demokrasi tak mungkin menjadi sistem
"sempurna" dalam sekejap. Tetapi "menuju sempurna". Tidak
statis, tapi dinamis. Itu berarti, proses kritik dan koreksi bakal terjadi
terus menerus.
Jika
bersandar pada konsep itu, kampus manapun di jagad Nusantara ini perlu terbuka
untuk perbaikan. Tak perlu menutup-nutupi, terlebih karena alasan citra semata.
Kesadaran dan kualitas peserta didik, tidak mungkin terpenuhi semata karena
citra. Lebih karena upaya serius dan tentu saja, demokratis.
Kampus
yang enggan menanggapi kritik dan enggan mengoreksi, berarti sudah tiran. Tiran
yang dimaksud adalah kekuasaan mutlak,
yang sudah pasti memaksa. Dalam hal ini, tiran bersifat
"menuhan", menjelma seperti tuhan. Manalagi yang disebut mirip tuhan
jika bukan sikap anti terhadap kritik dan enggan mengoreksi diri alias merasa
mapan. Sementara, dalam kajian-kajian, kita mengenalnya dengan istilah
"thagut". Tunduk pada "thagut" adalah suatu bentuk
penyekutuan tuhan. Itu terlalu jauh. Ungkapan Lord Acton yang sudah hampir
bosan terdengar, cocok untuk menggambarkan efek tiran. "Kekuasaan cenderung
korup, kekuasaan absolut pasti korup".
Bagaimana
bisa, kampus terjebak dalam tiran yang sudah hampir dipastikan korup, sementara
demokrasi tak mungkin utuh dengan digerogoti korupsi. Terlebih bila kampus yang
menyelipkan mata kuliah tertentu yang terang-terangan melawan korupsi. Uraian
ini bukanlah celoteh untuk mengikis citra kampus-kampus kita hari ini. Tidak.
Justru dengan posting seperti ini, sebaiknya setiap institusi berbenah diri.
Berefleksi terutama terkait penyelenggaraan pendidikan.
Tak
sedikit, para tetinggi menepis masukan semacam ini dengan menyerang balik
stakholdernya. Merasa kinerja sudah maksimal, tanpa kesempatan membuka ruang
kritik dan koreksi. Sikap ini yang menjadi ancaman demokratisasi di kampus dan
perlu dilawan oleh karena sudah menjelma menjadi tiran. Saatnya, kita saling
meluangkan waktu dan merelakan diri saling mengoreksi, agar sikap tiranik bisa
terhindari.
Suatu
saat, kawan kita dan generasi penerus akan bergantung pada apa yang kita
lakukan sekarang. Apakah kita menjatuhkan pilihan melawan tiran-tiran itu, atau
sengaja membiarkannya. Mari berpikir lalu bergerak, melawan!