Peran Kaum Terpelajar dalam Perubahan

Peran Kaum Terpelajar     dalam Perubahan

Dalam cerita pewayangan, manusia terpelajar selalu digambarkan sebagai tonggak perubahan. Sebut saja Arjuna, dalam cerita yang berkembang melalui pergelaran wayang, sosoknya amat terpelajar dan menjadi lakon dalam setiap perubahan zaman. Bukan hanya Arjuna, sosok lain yang juga besar peranannya adalah Semar. Seorang tua bijak terpelajar yang kelihaiannya justru terlihat saat ia mendidik dan melahirkan manusia-manusia terpelajar. Bahasa sekarang mungkin akan menyebutnya seorang guru. 

Ketika sebuah masyarakat mengalami kemandegan, kejumudan dan kemudiaan diikuti oleh krisis sosial, perkelahian bahkan peperangan, pada saat itulah kalangan terpelajar mendapatkan momentumnya. Karena memiliki kemampuan berpikir, dan keluesan bergaul, mereka biasanya dipercaya oleh masyarakatnya. Baru setelah itu, angin perubahan biasanya berhembus.

Lirik saja beberapa momen penting di awal reformasi. Gerakan itu santer dipelopori oleh kalangan terdidik. Erat kaitan dengan mahasiswa sebagai pembelajar yang bukan lagi sekedar siswa, tapi mahasiswa. Tri Dharma Perguruan tinggi betul-betul menjadi pedoman bagi sebagian mahasiswa (kita juga jujur, tidak semua mahasiswa), yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian.

khusus saat reformasi 1998 terjadi, banyak catatan tentang laku aktor reformasi yang ternyata sebagian diantaranya mahasiswa Tasikmalaya. Mereka tercatat sebagai penggagas dan penyelenggara forum cipayung, dimana gerakan mahasiswa sekala masif juga terbebtuk setelah itu. Gerakan perubahan memang tak mengenal batas desa dan kota. dimana ada kalangan terdidik di situ, ada momentum, ada pedoman yang jelas, ada kehendak untuk bergerak disertai keberanian, maka hasil akhirnya perubahan.

Tetapi apakah perubahan yang ditimbulkan selalu membuat kita lebih mudah? Belum tentu. sebuah kalimat inggris yang sudah menjadi pepatah : everything must changes, to something new, something strength... kadang perubahan juga memungkinkan terjadinya kondisi yang lebih sulit.

Walau begitu, perubahan tidak untuk disesali. Perubahan selalu penting dengan sifat gerak majunya. Hanya saja, perhitungan sebelum gerakan perubahan dimulai, mesti terukur. Siapa yang memiliki energi, kemampuan dan keberanian untuk menghitung perubahan agar lebih terukur? Saya percaya, hanya mereka yang terpelajarlah jawabannya. Menurut Pramudya Ananta Toer, kalangan terpelajar adalah mereka yang adil sejak dalam pikiran. Dan hanya keadilan ,mereka yang bisa menjawabnya.

Ai Nurhidayat
Pegiat Komunitas

Cipratan Hikmah Para Pembelajar

Cipratan Hikmah     Para Pembelajar

Cukup berbahagialah mereka yang kebetulan lahir di tengah keluarga berlatar belakang Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, atau organisasi Islam lainnya. Saya hanya menyebut keduanya bukan berarti melupakan yang lain. Ini hanya persoalan waktu, kali ini kebetulan saja kedua organisasi itu yang saya ingin sentil. Terutama terkait beberapa cerita menarik di balik para pendirinya.

Cerita ini tidak baru, hanya memang perlu diulang. Saya kira banyak hikmah yang tak akan habis.

Ini tentang KH. Hasyim Asy'ary, pendiri NU. saat muda, beliau begitu tekun mempelajari ilmu-ilmu khususnya ilmu Islam. Pada awal abad 20, buku atau kitab masih menjadi sumber informasi sekaligus media belajar utama. Untuk mempelajari kitab klasik, memang tidak mudah. Selain karena berbahasa arab, "kitab kuning" julukan kitab tentang ilmu Islam ini juga "gundul", tidak dilengkapi tanda baca yang lengkap. Karena itu, perlu banyak waktu dan upaya ekstra untuk mempelajarinya.

Di tengah masyarakat yang tidak memiliki sejarah baca atau budaya baca, kegiatan membaca kitab memang langka. Tetapi yang dilakukan KH Hasyim lebih langka lagi. Membaca baginya bukan hanya siang hari tatkala cahaya cukup untuk membaca, malam hari dikala gelap dan orang lain tertidur, beliau sering membaca buku. Ditemani cempor, beliau melakukan ritual bacanya hingga larut. Agar tidak mengantuk, beliau sengaja mencari kolam yang ditengahnya terdapat "galengan". Sekali saja mengantuk, Ia beserta bukunya bisa tercebur. Karena takut kecebur, maka timbul sikap waspada. Kantukpun hilang.

Maka jika beliau menjadi ulama pandai dan cerdas, melalui cerita itu kita bisa tengok "penyebabnya": ulet, kreatif terbaur dalam upayanya mencari ilmu pengetahuan.

Coba kita simak cerita berikutnya tentang KH Ahmad Dahlan. Satu dari sekian kisah uniknya saat mendalami ilmu pengetahuan, patut diceritakan ulang, terutama saat dia mengajari murid-muridnya dengan media pembelajaran yang kala itu baru, biola. Alat musik yang belum juga lumrah di kalangan masyarakat Islam saat itu ia sulap menjadi alat pembelajaran, terutama ilmu estetika.

Belajar estetika dalam Islam sudah dimulai belasan abad, hanya lain cara lain alat. KH Ahmad Dahlan kembali melakukan eksperimentasi dengan penggunaan biola ini. Sangat baru, aneh, bid'ah, bahkan kala itu banyak ulama yang menilai kafir. tapi begitulah sejarah berkisah, KH Ahmad Dahlan tetap konsisten dan mendidik orang Islam (khususnya) agar hidup lebih terbuka, modern dan tentu saja semuanya demi mempelajari ilmu pengetahuan.

Kedua cerita tadi semata menjadi kisah teladan para tokoh pendahulu. Bukan layak diceritakan karena organisasinya yang memang besar, lebih karena spirit yang selalu menyertai mereka terhadap ilmu pengetahuan. Hingga kemudian menuntunnya jadi orang besar.

Bagi para jemaah organisasi keduanya, boleh jadi cerita ini mengingatkan kembali tentang pentingnya pencarian ilmu pengetahuan yang dibarengi kesungguhan, terutama untuk para pelajar muda. Biar nanti, dalam diskusi dan dalam mengabdi kepada masyarakat, yang menjadi "senjata" pencerdasan adalah ilmu pengetahuan. Bukan karena harta, infrastruktur megah, massa yang berlimpah, apalagi hanya banyak bicara tanpa pesan apa-apa.

Ai Nurhidayat
Pegiat Komunitas Pelajar

Menghargai Pikiran

Menghargai Pikiran


Setelah sekian lama belajar formal sejak SD, MTs, SMA hingga menjadi mahasiswa seperti sekarang ini, saya lagi-lagi harus insyaf tentang berbagai hal. Satu diantaranya menginsyafi keberadaan pikiran. Terkadang, pikiran dibuat menganggur atau disalahgunakan.

Bermula dari bacaan yang ditulis "Bapak Republik Indonesia" Tan Malaka berjudul Madilog. Akronim dari Materialisme, Dialektika dan Logika. Buku itu adalah satu dari banyak buku yang dikarangnya. Berisi tentang pedoman cara berpikir yang bisa dibilang rintisan di Indonesia. Saya membacanya sejak pertengahan tahun 2007. Hingga kini memiliki tradisi membaca ulang buku itu setahun sekali. Hanya untuk kembali memastikan agar isi buku itu tidak terlupakan.

Madilog bukan sekedar bacaan. Buku itu juga memiliki peran sejarah yang cukup besar. Ditulis ditengah peristiwa kemerdekaan, buku itu lantas dibaca oleh para tokoh terdahulu. Hanya di periode Orde Baru pernah menghilang akibat dilarangnya buku-buku yang berbau "kiri". Buku cara berpikir malah dianggap "kiri" oleh orang waktu itu. Menyaksikan peristiwa pelarangan itu terkadang lucu.

Setelah sekian lama menghilang dan hanya bisa dinikmati sembunyi-sembunyi, setelah reformasi, buku itu kembali dicetak ulang. Saya adalah orang yang terlambat lahir dan telat mengenal isinya. Tetapi karena buku itu, saya bisa lebih menghargai pikiran sendiri.

Bahwa pikiran perlu dilatih agar bisa tetap lincah beroperasi. Cara terbaik mensyukuri anugrah model pikiran ini adalah dengan mencoba menggunakannya dalam pencarian dan perolehan informasi baru, mengolah informasi yang sudah ada, menggunakannya, hingga melakukan evaluasi yang bersifat refleksif. Setelah itu kembali lagi secara sirkuler. Ilmu pendidikan menyebutnya daur ulang belajar, atau belajar sepanjang hayat.

Begitulah pikiran, seperti yang dituturkan Tan Malaka, semakin dilatih semakin baik dan berguna. Pertanyaan yang cukup penting untuk saat ini adalah, apakah kita sudah menggunakan pikiran dan melatihnya? Tentu saja jawabannya terserah sidang pembaca.

Terkadang kita melupakan cara bagaimana meletakan peran penting pikiran dalam kehidupan kita. Kadangkala pikiran kita malah dibiarkan tercampuri dengan hal mistis, tidak digunakan untuk berpikir yang dalam hingga tahap hikmah kebijaksanaan (filosofis). Kita juga lupa dalam menggunakan pikiran untuk hal-hal sederhana dalam berhitung dan mengukur sesuatu. Kita bahkan abai dengan kesimpulan yang tidak sesuai dengan logika yang lurus. Kadang kita menyikapi segala persoalan lepas dari pikiran kita hingga tak mau lagi meneruskan aktivitas belajar.

Jika kejadian seperti itu, patutlah bangsa ini terasa "gelap" padahal "kunci terang" ada di kepala masing-masing. Terlampau banyak hal yang tak mampu diselesaikan secara benar baik sendiri maupun kolektif. Hampir bisa dipastikan, penyebabnya karena kita mengabaikan pikiran kita sendiri. Karena itu, mulai sekarang mari kita melatihnya lagi.

Ai Nurhidayat
Pegiat Komunitas


Menanam di Zaman Instan

Menanam di Zaman Instan

Sebuah percakapan ringan pernah terjadi di sebuah halaman mesjid. Seorang penjaga mesjid bertanya kepada ibu tani yang tiap kali kembali dari ladang dan melewati mesjid selalu membawa hasil pertanian. "Panen terus bu?" tanya penjaga mesjid. Ibu tani hanya menjawab, "iya, kan nanam terus..." katanya.

Sepintas, percakapan itu biasa-biasa saja. Dari sekian banyak peristiwa, sidang pembaca mungkin pernah menyaksikan percakapan sesingkat itu. Terlebih di kampung-kampung dimana tegur sapa masih menjadi budaya.

Karena merasa biasa, kadang makna dari percakapan itu menjadi biasa. Berbeda saat kita mengoptimalkan otak kita sambil merenungkan makna dari yang biasa itu. Sesepele apapun, selalu tersimpan hikmah. Percakapan tadi contohnya.

Saat ditanya soal panen yang terus-terusan, ibu tani menjawab dengan tepat. Ia bisa panen terus karena terus menanam. Sebuah pesan tentang seseorang yang memanen "terus" oleh karena menanam "terus". Coba dibalik, siapapun yang menanam terus-terusan, berarti dia akan memanen terus-terusan pula. Sebuah logika sederhana yang memiliki nilai luhur, tetapi jarang diinsyafi.

Dalam kehidupan masyarakat kita yang semakin modern, kadang kita menganggap yang tradisional atau yang sudah menjadi ritual biasa, kuno dan pantas ditinggalkan. Kebanyakan dari kita mengharap banyak hasil, tetapi enggan berupaya. Kehidupan menjadi terbatasi antara Kehendak dan hasil, lupa pada syarat berupa upaya dan proses. Itulah kenapa kita layak menyebutnya zaman instan. Ingin cepat-cepat memanen enggan menanam. Sangat instan!

Memang, menanam saat ini tidak lagi dianggap penting, tidak juga modern. Orang lebih merasa "hidup" di era modern manakala mampu membeli, bukan membuat. Entah itu gadget atau bahan bumbu dapur sekalipun. Manusia model ini lebih nyaman bergantung kepada hasil yang dibuat orang lain. Lupa dengan kemampuannya, yang sebetulnya bisa juga membuat.

Jika memang cerita tadi bisa menginspirasi, berarti hari ini, besok dan seterusnya kita hendak membiasakan diri menanam, agar suatu saat kita memiliki banyak hal untuk kita panen. Bisa jadi, bukan kita saja yang memanen. Mungkin anak-cucu kita dan generasi berikutnya bisa memanennya juga.

Tetapi sebelum melakukan itu, sebaiknya kita juga menanam sesuatu yang mendesak dan perlu. Kita tanam dulu di hati kita masing-masing sebuah "kesadaran". Sadar betapa menanam adalah tindakan melestarikan. Sebuah upaya yang sesuai dengan pesan-pesan atau wahyu Tuhan. Dengan begitu, saat ke mesjid kita tidak saja menjaga kebersihan "rumah Tuhan", lebih-lebih kita jaga dan laksanakan pesan Tuhan. Bukankah itu yang disebut khilafah fi al ardh?

Ai Nurhidayat
Pegiat Komunitas