Karena itu, perlu ada gerakan
kongkrit untuk melengkapi peran sekolah yang cacat itu. Birokrasi yang kaku,
berbelit dan tidak dimungkinkan untuk melahirkan inovasi, justru bisa dilawan
dengan gerakan baru. Gerakan yang dimaksud tidak lain adalah gerakan berbasis
komunitas.
Perlu ada aktor penggerak yang
mencoba menanamkan semangat berjejaring di kalangan pelajar. Semangat
berjejaring ini idealnya berbentuk komunitas. Agar sesuai dengan spirit
alternatif, komunitas itu harus mau membuka diri dan egaliter dalam mendampingi
komunitas. Butuh banyak inovasi, hal kreatif dan atraksi yang dapat mendorong
aktivisme komunitas.
Sebaiknya komunitas bersifat
independen, tanpa ada campur tangan langsung dari institusi politik,
perusahaan, atau bahkan dari pemerintah. Hubungan kepada institusi tadi hanya
dimungkinkan dalam kerjasama yang tidak mengikat. Komunitas memang harus
dibangun dengan semangat kerjasama, swadaya dan mandiri dalam menjalankannya.
Dalam mengisi aktivitasnya,
kegiatan komunitas bisa berupa latihan-latihan bidang tertentu dengan metode group dynamics tau metode belajar
kelompok lainnya. Fokus aktivitasnya bisa berupa klub belajar sesuai
matapelajaran, bisa klub pengembangan hobi, bisa sharing ide dan gagasan, dan seterusnya. Bahkan pelajar bisa diajak
turun langsung dalam masyarakat melalui kontribusi nyata, semisal membantu
melestarikan alam dengan menanam pohon atau melestarikan kebudayaan setempat dengan
melestarikan wayang dan sebagainya.
Sebetulnya apa saja bisa dilakukan
asalkan kegiatan itu positif, disukai pelajar, kontribusinya nyata dan membuat
pelajar lebih leluasa. Jika di dalam kelas para guru tetap melanggengkan cara
belajar yang konvensional dan bikin jemu, tak salah lagi, komunitaslah
jawabannya. Dengan begitu harapan agar terjadi perubahan yang progresif di
dalam kelas, tetap ada.
Ai Nurhidayat
Pegiat komunitas