Membaca Zaman Maju

(pernah dimuat di harian Kabar Priangan)

Cukup jelas kita perhatikan, tak ada produksi berlimpah untuk ekspor padi akibat petani belum sepenuhnya swasembada pangan. Tidak juga kita saksikan barang sejenis telepon genggam buatan asli anak daerah, padahal siapa yang tidak membutuhkan alat konunikasi di zaman ini. Lebih-lebih kita tak pernah dengar ada orang yang membuat kapal laut, padahal di selatan sana kita punya laut. Jangankan menyaksikan produknya terjual, terimpikan saja mungkin tidak. Inilah secuil realitas yang menghinggapi kita sebagai anak daerah, putra Priangan.

Barangkali contoh itu sudah cukup menggambarkan ada yang kurang dari kita. Pesan ironi dari contoh tadi adalah bukti bahwa kita tidak siap untuk betul-betul mandiri dan tidak bergantung diri dengan bikinan orang. Pahit rasanya, menyaksikan uang keluar dari saku, entah untuk keuntungan siapa. Sekian banyak, atau hampir seluruhnya dari kita bergantung, menyenderkan diri pada sumber kuasa yang entah dimana.

Bagi masyarakat sekarang, belum cukup syarat untuk membangun daerah menjadi daerah yang serba mandiri dan menciptakan peradaban sendiri. Masyarakar sekarang hanya ekor dari peradaban yang kepalanya ada di negara-negara maju. Silahkan mau menilai jujur atau tidak, kenyataan ini perlahan harus kita telan sebagai bekal refleksi.

Bagaimana selanjutnya? Apa yang harus dilakukan? Seabreg pertanyaan bagi yang mau berpikir mungkin selalu terlontar. Karenanya, mari kita berikhtiar mengurainya satu-satu dan mulai bergerak sesuai kapasitas kita.

Sebuah ayat dari Al-Quran cukup menarik untuk disimak. "iqra", bacalah! Ternyata cukup relevan menjelaskan sekaligus menjadi solusi atas permasalahan yang kita hadapi. Rendahnya inovasi, minimnya kreativitas, seuseutnya masyarakat kita untuk maju dipastikan karena masyarakat kita tak begitu akrab dengan bunyi ayat tadi, perihal membaca. Mengerikan! mengingat setiap anggota masyarakat, terlebih di era informasi ini memiliki kesempatan yang begitu besar untuk membaca. Tapi tak juga aktivitas itu membudaya. Padahal itulah cara terbaik untuk mendapat informasi yang pasti dibutuhkan untuk kemajuan apapun.

Habitus masyarakat yang tak doyan membaca itu, diam-diam menular di kalangan anak muda. Jarang sekali pelajar atau mahasiswa mau membaca biarpun sedang bersekolah. Tolak ukurnya mudah saja. Tanya saja pada guru-guru mereka, apakan peserta didiknya doyan baca? (Sekalian tanya gurunya juga, apakah gurunya suka membaca).

Di Ciamis misalnya, sejak awal milenium ini, jumlah toko buku tak lebih dari lima toko. Sebagian diantaranya hampir dan sudah bangkrut. Padahal jumlah penduduk Ciamis lebih dari sejuta setengah dan hampir semua melek huruf. Sekilas contohnya tak masuk akal, tetapi indikasi apa lagi yang mampuh mengukur daya baca masyarakat, sementara di halte, di angkot, di alun-alun, di ruang tunggu, bahkan di mesjid-mesjid, jarang terlihat orang baca. Di perpustakaan saja, silahlan cek sendiri... hasilnya menyedihkan.

Padahal kalo saja masyarakat kita melek huruf dan memiliki kehendak membaca, paling tidak kita bisa mengulang kesuksesan negeri lain yang maju terlebih dahulu dengan akrabnya mereka pada aktivitas membaca. Dengan begitu kita tidak melulu bergantung lagi. Saya sendiri percaya, membaca adalah cara terbaik menghadapi zaman yang terus maju ini.


Ai Nurhidayat
Pegiat Komunitas

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »