Harap-harap Cemas



Beberapa kawan siswa kelas 12 SMA meminta saya untuk kumpul bareng di sebuah warung kopi. Mereka meminta saya untuk mendengarkan curahan hati mereka. Katanya, terdapat banyak kasus aneh yang terjadi di sekolah mereka. Salah satunya soal kewajiban mengikuti les tambahan, lagi berbayar.

Adakah kewajiban sekolah semacam itu dalam kurikulum belajar yang dibuat mendiknas? Saya memastikannya tidak ada. Biarpun di lapangan terjadi, itu inisiatif sekolah atau siswa sendiri agar mampu menyelesaikan ujian. Tanda bahwa belajar di kelas tidak cukup yang pada akhirnya harus ditambah.

Wajib atau tidak? Tentu saja tidak wajib. "Tambahan" berarti ekstra di luar perencanaan. Bukan bagian dari yang direncanakan. Padahal pendidikan memiliki perencanaan. Seperti yang sudah jelas terdefinisikan dalam undang-undang: pendidikan adalah upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Bagaimana dengan les berbayar? Sekilas bisa dibenarkan atas alasan ongkos waktu mengajar bagi sang guru. Nyaris tak bermasalah. Kecuali jika bayarannya terlampau besar dan mendapat embel-embel "wajib". Nah, perkara mewajibkan les berbayar inilah sesungguhnya yang bermasalah.

Dari uraian itu kita mengendus beberapa hal, terutama soal motif. Ketika les berbayar yang sebetulnya tidak wajib itu menjadi "wajib", jelas ada unsur motif memperkaya diri. Prilaku seperti ini sudah jelas terkutuk. Pasalnya, tidak semua siswa mampu membayar, terlebih bila guru les kurang baik dalam mengajarnya. Dalam hal les, memang tidak ada uji kelayakan bagi guru les. Itu artinya, mewajibkan les pada guru yang belum tentu layak,  sama saja memaksa atas apa yang belum terjamin mutunya.

Motif berikutnya adalah penyalahgunaan kekuasaan. Siswa yang bicara langsung kepada saya, juga dibenarkan oleh alumnus sekolah favorit di Ciamis, bisa menjadi sumber fakta atas penyalahgunaan kekuasaan ini. Kekuasaan yang dimaksud adalah manakala guru memberi jaminan nilai bagus untuk diterima di perguruan tinggi favorit bagi siswa lesnya. Bagi mereka yang tidak les, tidak ada perhatian khusus. Itulah contoh dari prilaku diskriminatif dimana para oknum "menakuti"  siswa dengan cara yang halus?

Tidak bisakah siswa belajar optimal di sekolah tanpa harus mengeluarkan biaya tambahan untuk les? Jawabannya tentu beragam. Hanya saja, jika memang masih banyak yang les, hal itu menjadi indikasi bahwa kurikulum yang dibuat mendiknas tidak cukup. Sekolah yang "mahal" dan didanai oleh uang rakyat itu ternyata belum cukup tuntas dalam hal memberi pendidikan.

Kita pada akhirnya butuh pengawasan yang betul-betul. Prilaku keliru yang membayangi pendidikan kita harus kita selesaikan secepatnya. Jika tidak, semua pihak akan "Harap-harap cemas". Siswa cemas karena pendidikan di sekolah dirasa tak cukup. Para guru cemas karena sebagian oknum berprilaku nyeleweng yang bisa merontokan reputasi guru. Orang tua juga cemas, sebab selain mengeluarkan biaya tambahan untuk les anaknya, mereka juga cemas akan masa depan anak-anak mereka yang sudah dititipkan ke sekolah.

Saat ada cemas dimana-mana, "harapan" kita terkontaminasi kecemasan. Padahal harapan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa melalui lembaga pendidikan, akan sulit dicapai. Sejak sekarang mari kita koreksi apa saja yang dapat merusak harapan. Harapan kita, harapan bangsa kita.

Ai Nurhidayat
Pegiat Komunitas Pelajar

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »