Pertanyaan?

Pertanyaan?
Ada pertanyaan menarik yang dilontarkan seorang penyeleksi beasiswa kepada saya tiga tahun silam. “siapa anda?” dan “20 tahun lagi, ada dimana anda? Bagaimana masyarakat menilai anda saat itu? Apa yang sedang anda lakukan dan kontribusi apa yang sudah anda lakukan bagi masyarakat anda saat itu?

Kedua pertanyaan itu lebih berat saya jawab ketimbang pertanyaan lain yang sempat dialami sewaktu ujian nasional. Memang, dari segi panjang pendeknya kata, relatif mudah dipahami. Tetapi tidak untuk menjawabnya, sebab pertanyaan itu terkait diri dan kesiapan-kesiapan diri saya sendiri.

Jika dalam ujian nasional atau tes-tes lain di sela sekolah dan universitas bisa dijawab dengan mengopy uraian dalam buku panduan manual, maka pertanyaan tadi amat berbeda. Cukup asing dan tak pernah muncul sebelumnya dalam materi yang diajarkan. Untuk memulai menjawab, perlu improvisasi diri.

Saat itu saya hanya menjawab, saya adalah manusia bebas yang sedang menikmati masa tumbuh. Tentu jawaban tadi tidak terlalu sempurna jika kembali direnungkan, hanya saja, saya terbantu dengan kata-kata yang terlontar itu.

Kata manusia bebas, terinspirasi dari kata fitrah dimana manusia memang dilahirkan fitrah. Yang kedua menikmati masa tumbuh, dimana akan selalu muncul makna “menjadi” dalam segala proses kehidupan. Proses ini dalam istilah khusus adalah proses pembelajaran. Lebih dari itu, saya menikmatinya oleh sebab hanya itu yang saya miliki.

Pertanyaan kedua saya jawab dengan spontan sesuai dengan yang saya imajinasikan waktu itu. Tapi tidak saya beberkan. Mungkin pembaca lebih tertarik menjawabnya sendiri-sendiri, bukan?

Bisa jadi pertanyaan itu suatu saat bisa dialami orang lain, dengan bahasa yang sudah termodifikasi. Dan bisa jadi jika terjawab dengan tepat, sidang pembaca akan juga merasakan “lulus” dalam menjawab pertanyaan mendasar yang berkaitan dengan visi pribadi. Terutama dalam memanfaatkan kesempatan hidup.

Melalui tulisan ini, hendak saya utarakan imajinasi saya, dimana para pendidik, penyeleksi dan para orang tua, memikirkan ulang pertanyaan yang akan dilontarkan. Sebisa mungkin pertanyaan itu berkaitan dengan diri, agar yang menjawabnya tak lepas dari visi pribadinya. Terlebih untuk hidupnya di masa yang akan datang.

Catatan tentang Suraguna

Catatan tentang Suraguna
Drama hidup dimulai sejak manusia lahir, dan tidak berakhir selepas manusia pergi, mati. Drama itu secara otomatis tertwariskan kepada penerusnya.

Kisah berikut bermula dari petualangan eyang kami, Suraguna. Saudara seperanakan dengan Sukapura. Berasal dari wilayah Priangan. Hidupnya melewati 7 generasi silam. Sekitar 300 tahun yang lalu.

Suraguna memiliki kesohoran tertentu seperti halnya saudara dan orang sebangsa saat itu. Hanya saja, ada beberapa karakter yang sempat dikenal luas oleh masyarakat saat itu. Selain sebagai petarung, ia juga terkenal pemberani. Berani menghadapi yang tidak dihadapi orang, berani menanggalkan harta warisan, berani berkelana, berani bercinta dan berani melawan kebodohan dengan mengumpulkan pengalaman selama hidupnya.

Dari ranting cerita yang aku dapat dari sesepuh keturunan Suraguna, juga dari Sesepuh lain yang menyimpan kisah tentangnya, aku dapati beberapa catatan.

Tentang kisah keberanian misalnya. Ia mendatangi sebuah perkampungan, Galonggong. Daerah itu terletak di sekitar daerah Manonjaya, Tasikmalaya. Dicarinya siapa saja yang hendak bertarung dengan dirinya, dan bermaksud menikahi perempuan terbaik yang ada disana. Sayangnya, yang ia temui hanya seorang nenek tua. Bertanyalah ia pada nenek itu dan menceritakan maksud kedatangannya. Sang nenek malah tertawa, dan menyuruh Suraguna untuk mendatangi kakek tua di tepi hutan.

Suraguna hanya membutuhkan waktu sekilat untuk menemukan kakek yang dimaksud. Tanpa banyak basa-basi, ia meminta kakek itu menunjukan lawan tarungnya. Sang kakek malah tertawa, sambil mencegah Suraguna untuk bertarung. Selain akan berakhir percuma, memang tak ada satu pun orang di daerah itu, kecuali dia dan nenek tua tadi.

Suraguna tak mau percaya, ia tetap memaksa. Lantas berunjuk diri dengan mengancam bakal mencabut dua pohon rambutan yang memiliki batang tiga kali lipat besar tubuhnya. Tetapi sang kakek, malah tertawa mendengarnya dan tetap menyarankan Suraguna mengurungkan niatnya. Dia juga meminta agar Suraguna tidak sombong dengan keberanian yang dimilikinya.

Tetapi itulah karakter nyata Suraguna, ia hanya menginginkan lawan tarung untuk membuktikan seberapa hebat dirinya sebagai petarung, jawara. Ia pun menantang kehebatan sang kakek jika memang ada. Kakek itu tertawa geli.

Berucaplah sang kakek soal ketidakmungkinan Suraguna mencabut dua pohon rambutan yang tadi dimaksud. Lantas kakek itu menyuruh Suraguna mencabut sebatang lidi yang ia tancapkan di atas tanah terbuka. Suraguna tertawa terbahak karena dirinya merasa dibodohi dengan tindakan tak masuk akal. Sang kakek hanya meresponnya dengan senyum. Sambil menunjuk jari ke lidi itu. Suraguna akhirnya mulai melakukan apa yang si kakek suruh.

Awalnya ia hanya mencabut dengan cibiran tangan. Tanpa diduga, lidi itu tak bisa tercabut. Lalu Suraguna mencoba menggunakan kedua tangan, hasilnya tetap sama. Ia tahu ada kekuatan yang luar biasa, tapi begitulah Suraguna, tak gentar biarpun ia tak tahu seberapa kekuatan yang hinggap di lidi itu. Dengan segala daya dan upaya, ia terus berusaha mencabut lidi itu. Hingga matahari melintasi ubun-ubun, rupanya lidi itu tetap tak tercabut. Tanah disekitar lidi itu berubah menjadi kubangan lumpur akibat keringat dan darahnya Suraguna yang keluar, tetapi sayang, tanpa ada hasil.

Suraguna tidak berhenti lantaran tantangannya itu. Namun karena lelah pada akhirnya Suraguna meninggalkan si kakek tua itu. Sebelum pergi, kakek itu bilang bahwa sarannya di awal tadi patut didengarkan. Ia juga member nasihat, jangan sesekali menyepelekan orang lain, terlebih orang tua yang bisa jadi lebih banyak pengalaman ketimbang dirinya. Walhasil, terbukti sudah, Suraguna bahkan tak sanggup mencabut lidi yang ia tancapkan sendiri, apalagi mencabut kedua pohon Rambutan yang ditancapkan alam.

Peristiwa itu menjadi titik balik Suraguna yang terkenal gagah, kemudian menjadi bijaksana dan mau meninggalkan daerah asalnya semata demi mencari pengalaman yang ternyata mahal harganya. Kini, berbagai warisan Suraguna mengalir di tubuh keturuannya. Satu diantaranya menjadi Empu golok (bedog) yang masih digunakan keturunan beserta masyarakat lain, terlebih mereka yang bertani. Bedog itu juga menjadi ancer-ancer budaya yang menyimpan serentetan kisah leluhurnya, kisah dirinya dan kisah generasi berikutnya. Terutama tentang keberaniannya.