Pemuda dan Rasa Sakit Kebangsaan


Beberapa peristiwa yang terjadi di Indonesia belakangan ini seharusnya bisa memberikan gambaran kepada pemuda Indonesia betapa praktek pendidikan di negeri ini belumlah berhasil sesuai harapan. Harapan yang dimaksud adalah memerdekakan manusia Indonesia sehingga tidak ada kabar lagi yang bercerita soal keperihatinan.
Kasus Ujian Nasional (UN) misalnya, selain menyisihkan banyak siswa yang tidak lulus juga memberikan label kepada mereka bahwa mereka tidak mampu, bodoh, dan kurang beruntung. Peserta yang dinyatakan tidak lulus, meskipun bisa mengulang tetap saja secara sosial mereka dipermalukan. Kondisi seperti itu membawa seseorang kepada rasa tidak percaya diri bahkan mungkin merasa tidak pantas melanjutkan sekolah ke tingkat perguruan tinggi. Pada akhirnya mengurangi angka masuk perguruan tinggi.

Kasus lain ketika banyak dari siswa-siswa yang jauh dari perkotaan mengeluh akan fasilitas yang menyertai mereka. Perpustakaan, laboratorium, tempat les, beserta sarana lain yang menunjang pendidikan begitu memprihatinkan. Maka selain akan memberi penafsiran akan ketidakseimbangan, hal itu menunjukan ketidakadilan bagi siswa terhadap akses pendidikan. Kondisi itu akan berakibat pada antusiasme siswa dalam belajar dan menentukan prestasi siswa.
Perlakuan pemerintah melalui program UN dan perhatiannya terhadap fasilitas pendidikan membuktikan betapa negara ini malah mengancam rasa kebangsaan. Sebagai sebuah bangsa, seharusnya tidak ada lagi ketimpangan dan ketidak-adilan. Jika hal ini dibiarkan, jangankan menggapai cita-cita bangsa kedepan, eksistensi bangsa ini saja sebetulnya sedang mengalami keterancaman. Inilah wujud dari “rasa sakit kebangsaan.”
Bagi pemuda, kondisi ini bukanlah hal yang terjadi begitu saja. Pasti ada hal yang salah dengan pengelolaan dilapangan atau mungkin salah perencanaan. Soalnya, cita-cita negeri ini dan amanat yang menyertainya memberikan perhatian yang cukup. Misalnya dengan memperioritaskan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dalam APBN. Dan secara konstitusional tidak pernah ada pembedaan antara siswa A disatu sisi dengan siswa B disisi lain. Batasan daerah beserta kapasitas siswa tidak jadi soal yang penting setiap orang berhak mendapatkan pendidikan.

Oleh karena itu, menjadi sebuah keharusan manakala pemuda khususnya mahasiswa sebagai golongan yang bertanggungjawab secara moral ikut memperhatikan kondisi ini. Pemuda dan mahasiswa tidak boleh lepas tangan karena mau tidak mau, suatu saat nanti merekalah yang menjadi aktor di negeri ini. Maka wajar jika mereka menaruh perhatian pada aspek terpenting dari cita-cita kemerdekaan negeri ini yaitu pendidikan.
Untuk menjawab itu setidaknya ada beberapa hal yang penulis usulkan. Pertama, pemuda seharusnya banyak belajar dan banyak turun ke lapangan ketika menghadapi persoalan seperti ini. Tidak harus reaksioner tetapi jadikan semangat ini sebagai upaya jemput bola dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Dengan begitu, perlahan masalah yang menyelimuti bangsa ini akan terbuka dan bisa deselesaikan. Kedua, Pemuda seharusnya berkaca dari sejarah bagaimana bahwa pemuda-pemuda bangsa di masa lalu berjuang. Tentu saja hal ini tidak begitu penting kecuali jika pemuda menjadikannya sebagai usaha baru dengan cara baru supaya lebih kontekstual.

Ketiga, Pemuda dan mahasiswa jangan sampai terjebak dalam rutinitas kampus yang biasanya tidak memberi waktu yang lebih bagi mahasiswa untuk turun lapangan. Pemuda juga tidak boleh terjebak dalam jeratan-jeratan kondisi lingkungan. Posisi pemuda sebagai sebuah agen dalam hal ini harus mengambil sikap untuk berubah. Disadari atau tidak, penyakit atau rasa sakit kebangsaan yang menimpa sekarang ini bermula dari ketidakberdayaan agen dalam mempengaruhi struktur baik itu di lingkungan sekitar atau pemerintahan.

Keempat, pemuda harusnya tahu, kapan mereka berbicara banyak dan kapan bertindak banyak. Rasa sakit kebangsaan yang hinggap di tubuh bangsa ini tidak untuk dipelihara, tetapi untuk diobati. Maka mengobatinya adalah dengan langsung turun ke lapangan. Dalam hal ini kita diingatkan sebuah adagium menarik “salah paham selesai dengan omongan, salah urus selesai dengan tindakan”. Semoga rasa sakit kebangsaan ini hilang.


Ai Nurhidayat

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

1 comments:

Write comments
11 September 2011 at 14:42 delete

Demi kebaikan semua pihak, jika ada sesuatu yang mesti dibagi, atau yang hendak dikritisi, tolong relakan hati untuk mengisi lembar komentar ini. Maka, penulis haturkan terima kasih...

Reply
avatar